Konsep Spiritual Hamba Tuhan

Konsep Spiritual Hamba Tuhan

Konsep Spiritual Hamba Tuhan 
A. PENDAHULUAN
Teologi adalah refleksi sistematis dan teoretis atas pengalaman iman (E. Gerrit Singgih). Pengalaman akan hubungan dengan “yang transenden” ini cukup unik. Pertama, kita dengan segala pikir dan berbagai cara sulit untuk menjangkau sosok konkret Allah. Sementara itu, kita sebagai orang yang beriman kepada-Nya dituntut untuk selalu beriman dalam apapun keadaan kita dan apa yang kita perbuat. Sebagai orang beriman, khususnya kita sebagai teolog, harus mewujudnyatakan refleksi sistematis dan teoretis atas pengalaman iman tersebut ke dalam pelayanan terhadap Allah dan sesama di dunia tempat kita hidup. Dengan adanya hal ini, maka Allah bisa hadir di dunia ini melalui orang-orang yang melayani-Nya dan Gereja-Nya.
Bicara tentang pelayanan kristiani, kita tidak bisa lepas dari pembahasan seputar Teologi Pastoral. Sebagai salah satu disiplin teologis, teologi ini memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang “pastoral”. Jika berbicara tentang pastoral, maka – yang mungkin – muncul dalam benak kita adalah “pelayan umat”, “gereja”, “pelayanan gereja”. Teologi Pastoral terkait erat/tidak bisa dilepaskan dari Ekklesiologi (ekklesia). Dengan kata lain, pastoral selalu berada di dalam ekklesiologi. Ekklesia yang dimaksud di sini adalah ekklesio faktual, atau biasa disebut dengan konteks. Teologi Pastoral (modern) selalu berhadapan dengan konteks di dalam kehidupan bersama tersebut. Jadi, secara singkat Teologi Pastoral adalah refleksi secara sistematis dan metodis tentang relasi manusia dengan Tuhan dan Tuhan dengan manusia.
Terkait dengan arah gerak Teologi Pastoral itu sendiri, yaitu selalu bergerak menuju pembaharuan yang terus-menerus dengan tetap memperhatikan konteks (spiral). Maka, suatu bentuk pelayanan pun dituntut untuk bisa mengajak orang lain menuju ke kehidupan yang baru di dalam imannya. Kehidupan baru yang bebas dari “perbudakan”, seperti kematian, penderitaan, kesakitan, dll. Bebas dalam hal ini bukan berarti lepas. Kita tidak bisa lepas dari semua hal tersebut, karena hidup ini adalah suatu realitas di mana ada suka maupun duka. Bebas dalam hal ini berarti bahwa kita bisa memaknai ulang atau memahami suatu realita sebagai bagian dalam kehidupan kita, sehingga kita bisa bertemu dengan Allah di dalamnya.
Pelayanan sangat erat berhubungan dengan soal hidup rohani pelayan itu sendiri. Mengapa? Terkait dengan iman pada Allah, seseorang tidak dapat disebut pelayan kristiani jika di dalam dirinya tidak ada jiwa untuk melayani Allah dan sesamanya. Menurut Nouwen, pelayanan dan spiritualitas tidak pernah dapat dipisahkan. Pelayanan bukanlah pekerjaan dengan jam kerja, akan tetapi pertama-tama adalah jalan hidup supaya dilihat dan dimengerti oleh orang lain sehingga pembebasan dapat menjadi satu kemungkinan. Benih-benih spiritualitas ini – seharusnya – tampak dalam pelayanan kristiani itu sendiri, sehingga menjadi jelas bahwa setiap orang kristiani adalah pelayan. Terkait dengan hal tersebut, spiritualitas pelayanan seperti apakah yang dimiliki oleh pelayan kristiani pada konteks saat ini? Dalam setiap langkah kehidupannya, apakah seorang pelayan kristiani mampu untuk tetap menampakan spiritualitas pelayanannya atau akan ikut arus dunia sehingga pelayanannya bukan lagi termotivasi oleh kasih melainkan materi, terikat dengan institusi atau mementingkan manusia-nya?

B. LIMA POKOK PELAYANAN HAMBA TUHAN
1. Mengajar
Pertanyaan yang mendasar mengenai pengetahuan adalah: apakah kita tahu arah hidup yang akan kita tuju dengan pengetahuan tersebut? Ataukah malah hidup kita yang diarahkan oleh pengetahuan tersebut? Pengajaran merupakan salah satu tugas utama seorang pelayan, karena pemahaman diri manusia dan dunianya yang semakin mendalam merupakan jalan menuju kebebasan yang baru dan cara hidup yang baru pula. Keterkaitan manusia dengan dunianya membuat pelayanan dalam pengajaran tidak dibatasi hanya pada pengajaran agama saja, melainkan juga pengetahuan akan hal-hal dunia. Hal ini memungkinkan orang akan siap untuk menghadapi dunia dengan iman sebagai bekal pengetahuan yang utama. Kecenderungan yang terjadi pada pelayanan dalam hal pengajaran adalah pementingan terhadap isi pengajaran tanpa menyadari bahwa hubungan dalam pengajaran merupakan unsur yang paling terpenting dalam pelayanan di bidang pengajaran. Inti dari sebuah pelayanan di bidang pengajaran adalah bagaimana seorang pelayan membuat suatu hubungan dalam suatu proses pengajaran yang tidak diwarnai dengan persaingan, proses satu arah, dan sikap hidup yang mengasingkan, melainkan proses pengajaran yang membebaskan. Proses pengajaran yang membebaskan dalam hal ini berarti bahwa ada keterbukaan dan sikap saling menerima antara kedua belah pihak. Proses ini pun mengandaikan adanya kesejajaran status, sehingga arah pembelajaran yang terjadi adalah dua arah. Selain itu, adanya pengakuan terhadap eksistensi pihak lain dan kesadaran akan diri sendiri membuat “hidup saat ini juga adalah bagian dari kehidupan seluruhnya”. Artinya, hidup saat ini bukanlah suatu bekal untuk kehidupan nyata mendatang, melainkan juga adalah bagian atau awal dari kehidupan mendatang tersebut. Pada akhirnya, guru dan murid pun akan dapat saling belajar dari satu sama lain, saling membangkitkan kemampuan, dan saling mengaktualisasikan diri dalam kehidupannya, sehingga terciptalah sebuah proses pengajaran yang membebaskan.

2. Berkhotbah
Khotbah termasuk dalam salah satu inti pelayanan kristiani. Maksud khotbah yang sebenarnya tidak lain adalah membantu orang untuk sampai pada pemahaman akan keadaan mereka sendiri dan keadaan akan dunia mereka yang sedemikian rupa, sehingga mereka dapat bebas untuk mengikuti Kristus: yaitu menghayati hidupnya secara otentik seperti halnya Dia menghayati hidup-Nya. Pemahaman seperti inilah yang mampu menghantarkan manusia kepada Sabda Allah, sehingga hidupnya pun dapat diterangi oleh Sabda yang didengarnya. Berkhotbah adalah lebih daripada sekedar menceritakan kembali kisah-kisah Alkitab. Lebih daripada membawa iman pada masa lalu ke masa sekarang. Bagaimana pun juga, pesan inti Injil tetap mengandung kebenaran yang belum seutuhnya dinyatakan pada setiap orang. Sabda Allah selalu datang ke dunia , meskipun seringkali ditanggapi dengan ketidakacuhan dan kejengkelan. Orang yang berkhotbah diharapkan untuk dapat menyingkirkan halangan-halangan ini dan membawa orang/jemaat kepada pemahaman yang benar yang dapat membebaskan mereka. Dalam hal ini, seorang pengkhotbah dituntut adanya keterbukaan dirinya untuk setiap dialog yang terjadi, meskipun tak jarang pula keterbukaan tersebut menyakitkan bagi diri pengkhotbah. Namun, keterbukaan inilah yang menjadi inti spiritualitas pengkhotbah. Pengkhotbah adalah orang yang bersedia memberikan hidupnya bagi umatnya. Melalui diri si pengkhotbah, orang/jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya Allah dalam hidupnya sendiri.

3. Pelayanan Pastoral Pribadi
Pelayanan pastoral pribadi tidak hanya sekedar menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima, namun juga menuntut kesediaan dari si pelayan untuk mengambil resiko atas hidupnya sendiri dan tetap setia kepada kawannya yang menderita. Seperti halnya mengajar dan berkhotbah, maka pelayanan pastoral pribadi pun juga terkait erat dengan spiritualitas pelayan kristiani. Berdasarkan hal ini, maka identitas pastoral, hubungan pastoral, dan pendekatan pastoral dari si pelayan perlu untuk ditinjau lebih dalam lagi guna pelayanannya sendiri. Kecenderungan yang terjadi pada diri pelayan kristiani adalah seringkali merasa rendah diri, karena merasa tidak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan untuk sesamanya yang sedang menderita. Namun, jika pelayan tersebut mampu menyingkirkan perasaan rendah dirinya dan menemukan bahwa dengan meneguhkan kehidupan sesamanya, dengan memberikan hidupnya sendiri, sesungguhnya ia meneguhkan identitas pelayanannya sendiri. Dengan memberikan diri/hidupnya pada sesamanya, maka si pelayan sebenarnya sudah memusatkan hidupnya bagi orang lain. Tak seorang pun dapat melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal dirinya agar dapat menciptakan ruang di mana Allah melaksanakan karya-Nya. Kita tidak dapat sungguh-sungguh menolong orang lain, apabila kita tetap memusatkan perhatian pada diri sendiri. Hubungan pastoral tidak dapat sepenuhnya dimengerti dalam rangka kontrak professional. Hubungan pastoral lebih didasarkan pada kepedulian, di mana si pelayan ikut terlibat – tanpa syarat – ke dalam kehidupan/pergumulan sesamanya. Berdasarkan hal ini, maka seorang pelayan kristiani seharusnya tidak memakai keberhasilan manusiawi sebagai ukuran cinta mereka kepada sesama.
Banyak pelayanan pastoral pribadi yang tidak berjalan dengan lancar, karena si pelayan salah dalam menggunakan pendekatan pastoral. Pada saat ini, pelayan-pelayan kristiani dibekali latihan-latihan khusus ataupun teori-teori pastoral agar dapat menggunakan pendekatan yang pas demi kelancaran pelayanannya. Teori sebenarnya penting, namun yang terpenting adalah pengalaman hidup dar pelayan kristiani itu sendiri. Dengan belajar dari pengalaman-pengalaman pastoral pribadinya, maka pelayan kristiani dapat menjernihkan pengalaman-pengalamannya sendiri. Dari proses pembelajaran tersebut, ia akan dapat mempunyai suatu cara konkret untuk mengenali secara persis apa yang terjadi dalam karya pastoralnya dan suatu kesempatan istimewa untuk berpikir realistis mengenai cara-cara tindakan pastoral lain.
Pelayanan adalah kontemplasi, karena pelayanan merupakan penyingkapan realitas yang terus-menerus terjadi, pe-wahyu-an cahaya Allah dan sekaligus kegelapan manusia. Dalam perspektif ini, pelayanan pastoral pribadi tidak pernah dapat dibatasi pada penerapan ketrampilan atau teknik apa pun, karena pada akhirnya pelayanan adalah pencarian Allah yang terus-menerus yang berlangsung dalam kehidupan orang yang kita layani. Seorang “klien” pastoral pribadi adalah sebuah dokumen hidup, sehingga pelayanan pastoral berarti suatu kontemplasi yang teliti dan kritis mengenai keadaan manusia.

4. Berorganisasi
Terkait dengan permasalahan berorganisasi, seorang pelayan kristian diharapkan dapat menjadi pembawa perubahan sosial. Seringkali seorang pelayan kristiani mengalami frustasi atau tekanan di dalam kehidupan organisasi di gereja. Hal ini dikarenakan mereka tidak dapat menyentuh struktur-struktur kehidupan yang paling mendasar, seperti kemanusiaan, kasih, pelayanan, dll. Seorang pelayan kristiani seringkali cenderung fokus pada struktur berorganisasi yang ada dalam gereja, bukan struktur kehidupan jemaat itu sendiri.
Hal-hal yang seringkali membuat seorang pelayan “jatuh” adalah seperti keinginan akan hasil yang konkret, kekuasaan, dan kesombongan. Orientasi terhadap hasil yang konkret telah membuat hambatan – entah disadari atau tidak – dalam pelayanan itu sendiri. Misalnya, gereja membantu orang-orang miskin dengan memberikan mereka sejumlah uang atau tempat tinggal sementara. Padahal, hal yang lebih mereka (orang-orang miskin tersebut) butuhkan adalah sebuah kasih dan penghargaan sebagai seorang manusia, sehingga mereka bisa merasakan bahwa mereka sendiri diterima dalam masyarakat tersebut. Orang yang berkecimpung dalam sebuah organisasi seringkali berorientasi pada kekuasaan, apalagi bagi seorang pelayan kristiani di mana dia juga mempunyai tanggung jawab sebagai pemimpin jemaat. Akhirnya, ada godaan yang lebih besar, yaitu kesombongan. Seseorang yang dikatakan “lebih” daripada masyarakat di sekitarnya atau jemaat seringkali menganggap bahwa orang-orang di luar dirinyalah yang perlu berubah dan bukan dirinya sendiri. Misalnya, seorang pelayan kristiani berulangkali berusaha agar orang lain bertobat dan berpikir bahwa dia sendiri tidak perlu bertobat.
Setiap orang yang telah sadar akan penyakit-penyakit masyarakat di mana dia hidup dan merasakan kebutuhan yang makin mendesak untuk mengadakan perubahan sosial dihadapkan pada godaan konkretisme, kekuasaan, dan kesombongan. Banyak pelayan kristiani telah begitu terpengaruh oleh godaan-godaan tersebut, sehingga tidak tahu bagaimana menghindarinya. Pada dasarnya, untuk mengubah dunia yang hancur ini ialah dimulai dengan mengubah hati sendiri, yaitu dengan memusatkan perhatian pada pertobatan batin dan pencabutan kejahatan dari akar hati manusia, dengan menekankan cinta pribadi dan kehidupan doa. Sebuah harapan melebihi apa yang dinamakan hasil konkret, kesediaan menerima merupakan sikap tidak menguasai, dan berbagi tanggung jawab merupakan jalan untuk mengalahkan kesombongan. Akhirnya, aksi dan kontemplasi adalah dua segi dari satu kenyataan yang menjadikan seorang pelayan kristiani pembawa perubahan. Organisasi menjadi pelayanan kalau orang yang mengorganisasi melangkah lebih jauh daripada sekedar menginginkan hasil-hasil yang nyata dan memandang dunianya dengan harapan yang tak pernah padam untuk diperbaharui seutuhnya.

5. Perayaan Hari Besar 
Merayakan hidup adalah berarti meninggalkan sikap fatalistis dan putus asa dan membuat penemuan kita bahwa kita hanya mempunyai satu hidup yang harus dihidupi, menjadi pengakuan yang terus-menerus akan karya Allah dengan manusia. Hal ini berarti adalah perayaan itu sendiri merupakan suatu kenyataan manusiawi. Perayaan adalah penerimaan kehidupan dengan kesadaran yang terus berkembang bahwa hidup itu bernilai. Hidup adalah bernilai bukan hanya karena hidup itu dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan, akan tetapi juga karena hidup itu pada suatu hari akan hilang. Orang yang mampu merayakan kehidupan dapat menghindarkan diri dari godaan untuk mencari hanya kegembiraan saja atau hanya kesusahan saja.
Merayakan adalah pertama-tama mengakui sepenuhnya keadaan kita. Dengan kesadaran penuh kita mampu berkata: inilah saya. Merayakan juga terkait dengan mengenang masa lampau, karena masa lampau turut berperan dalam menjadikan kita yang masa kini. Orang yang merayakan hidupnya tidak akan menjadikan masa lampaunya sebuah penjara atau sumber kesombongan, akan tetapi menghadapi kenyataan-kenyataan sejarah dan sepenuhnya menerima sebagai unsur-unsur yang memungkinkan dia menyatakan bahwa pengalamannya adalah pengalaman pribadinya sendiri. Di samping mengakui dan mengenang kehidupan, perayaan juga dipenuhi oleh harapan-harapan untu masa depan. Dengan demikian perayaan berarti pengakuan atas masa kini, yang hanya menjadi mungkin sepenuhnya dengan mengenang masa lampau dan mengharapkan lebih lagi pada yang akan terjadi di masa mendatang.
Di dalam spiritualitas perayaan terkandung ketaatan manusia pada Allah, alam, dan sesamanya sendiri. Intinya, ketaatan manusia kepada Allah dan ciptaan merupakan syarat dasar untuk menjadi orang yang merayakan hidup. Kita dapat merayakan hidup jika kita sudah dimerdekakan oleh kerendahan hati. Dengan kerendahan hati, kita tahu bahwa seluruh hidup kita adalah anugerah, anugerah untuk dirayakan.

C. KONSEP SPIRITUALITAS HAMBA TUHAN
Menurut saya, gambaran seorang pelayan kristian seperti yang digambarkan Henry Nouwen dalam bukunya “Pelayanan yang Kreatif” adalah suatu gambaran yang ideal mengenai diri seorang pelayan kristiani. Pada dasarnya, saya setuju dengan penggambaran tersebut. Bahwa seorang pelayan kristiani memang sudah seharusnya menyerahkan hidupnya untuk jemaat, dalam artian seorang pelayan kristiani memang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Namun, saya menjadi ragu jika kita diperhadapkan pada pertanyaan: apakah konsep pelayan kristiani, yang ideal tersebut, dapat menjadi nyata dalam segala aspek kehidupan pelayan kristiani pada konteks saat ini?

1. Hal pengajaran
Terkait dengan permasalahan mengenai pengajaran, seorang pelayan kristiani diharapkan mampu berbagi hidup dan pengetahuan serta berusaha membangun hubungan yang baik dan membangun. Akan tetapi, realitanya banyak para pelayan yang tidak seperti gambaran yang ideal ini. Bagi banyak pendeta atau pastor yang juga bergerak dalam bidang pengajaran, misalnya menjadi dosen atau pun guru, mungkin sudah terbiasa bergaul dan berdebat dengan para murid atau mahasiswa. Hal ini membuat mereka sedikit banyak mengalami keterbukaan – walau pun ada juga yang masih kurang terbuka. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang kehidupan sehari-harinya hanya menjadi pendeta atau seorang pastor? Realita yang saya lihat, kebanyakan dari para pelayan kristiani ini sulit mengalami keterbukaan. Mereka cenderung menganggap dirinya sendiri mempunyai pengetahuan – dalam hal ini pengetahuan teologi – lebih daripada jemaat. Anggapan bahwa teologi jemaat adalah teologi awam membuat para pelayan kristiani tersebut cenderung menyalahkan teologi jemaat dan membenarkan teologinya sendiri. Tidak jarang para pendeta dan pastor yang menjadi marah, kesal, atau bahkan membenci salah seorang jemaat, hanya gara-gara mendebat argumen teologis atau lebih tahu tentang Alkitab daripada pelayan kristiani itu sendiri.
Saya merasa bahwa kesulitan yang dihadapi oleh para pelayan kristiani dalam hal ini adalah adanya tuntutan jemaat pada diri seorang pendeta atau pastor, yaitu bahwa mereka seharusnya mempunyai pengetahuan lebih luas daripada jemaat. Gengsi atau harga diri seringkali muncul ketika mereka merasa “dikalahkan”, sehingga mereka khawatir pamor dan kharismanya sebagai pemimpin jemaat berkurang bahkan dianggap bodoh. Sikap mempertahankan diri yang negatif seperti inilah yang cenderung membuat seorang pelayan kristiani tidak mampu menciptakan pengajaran sebagai suatu kehidupan. Proses pengajaran yang terjadi pun juga tidak membebaskan. Isi pengajaran memang penting, namun yang lebih penting adalah bagaimana hubungan yang terjalin antara pelayan kristiani dengan nara didiknya atau jemaatnya. Hubungan yang diwarnai dengan keterbukaan dari kedua belah pihak, adanya sikap saling menerima, dan mengakui eksistensi masing-masing pihak akan dapat membuat pengajaran sebagai suatu proses yang membebaskan. Tidak ada lagi “diarahkan oleh”, melainkan “dapat mengarahkan diri”.
2. Berkhotbah
Terkait dengan berkhotbah, gambaran seorang pelayan kristiani menurut Nouwen adalah seorang pelayan yang mampu menyediakan hidupnya bagi jemaat. Melalui diri si pengkhotbah, orang/jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya Allah dalam hidupnya sendiri. Namun, apakah realita yang terjadi juga seperti ini? Saya tidak terlalu tahu dengan kehidupan pastor dalam hal ini, namun yang saya ketahui adalah bahwa banyak pendeta yang menganggap pekerjaannya hanyalah berkhotbah. Seringkali dalam berkhotbah ini pun, mereka ibarat orang yang sedang merayu dengan “rayuan gombalnya”. Saya berkata seperti ini, karena banyak saya jumpai seorang pendeta yang khotbahnya bagus dan dasar teologisnya kuat namun banyak omongan yang miring mengenai diri pendeta tersebut. Kebanyakan dari mereka membela diri dengan mengatakan bahwa seorang pendeta juga adalah manusia, jadi wajar jika mempunyai salah atau kekurangan. Akan tetapi, hal ini berbeda ketika dia berkhotbah mengenai suatu hal yang benar dan dia sendiri tidak melakukannya. Misalnya, seorang pendeta berkhotbah mengenai “menjaga mulut” akan tetapi dia sendiri sering menggosipkan orang lain. Dalam hal ini, sikap atau perilaku sehari-hari dari diri seorang pelayan kristiani turut mempengaruhi penerimaan jemaat terhadap Firman Tuhan yang dikhotbahkan. Sebenarnya yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah apakah konsep atau pandangan jemaat mengenai diri seorang pendeta atau pastor? Jika seorang pendeta atau pastor hanya dianggap sebagai “tukang khotbah”, maka perilaku sehari-hari dari pendeta atau pastor tersebut tidak terlalu dipermasalahkan. Namun, bukan konsep seperti inilah yang ada dalam diri jemaat pada umumnya. Misalnya saja di GPP. Di GPP, pada umumnya seorang pendeta dianggap sebagai representasi Allah atau wakil Allah di dunia. Jadi, apapun yang pendeta lakukan bisa saja diketahui oleh jemaatnya. Ibaratnya, pendeta adalah “aquarium” sehingga selalu kelihatan apa yang diperbuatnya. Tampaknya, hal inilah yang seringkali menjadi hambatan sampainya khotbah pada diri dan kehidupan jemaat itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku sehari-hari seorang pelayan kristiani diharapkan dapat sesuai dengan berita Alkitab. Menyediakan hidup bagi jemaat adalah berarti kehidupan si pelayan menjadi “jendela” bagi jemaat untuk memahami dan mengenali karya Allah dalam hidupnya. Seringkali seorang pengkhotbah menghindari permasalahan seperti di atas dengan memberikan khotbah tentang sesuatu di luar dirinya. Padahal, khotbah seharusnya terlebih dahulu mengenai pada diri si pengkhotbah itu sendiri agar mengena juga pada diri jemaat.

3. Hamba Tuhan ; memberikan hidup atau menyediakan hidup?
Menurut Nouwen, dengan memberikan diri/hidupnya pada sesamanya, maka si pelayan sebenarnya sudah memusatkan hidupnya bagi orang lain. Tak seorang pun dapat melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal dirinya agar dapat menciptakan ruang di mana Allah melaksanakan karya-Nya. Menurut saya, memberikan hidup berarti mengabdikan seluruh hidup untuk pelayanan – tanpa merasa khawatir terhadap kebutuhan sehari-harinya, sementara menyediakan hidup adalah berarti menjadikan hidupnya sebagai “jendela” bagi jemaat untuk mengenali dan memahami karya Allah dalam hidupnya. Mengenai hal ini, saya mau sedikit membedakan kehidupan seorang pastor dengan seorang pendeta karena pola kehidupan mereka mempengaruhi konsep mengenai seorang pelayan yang memberikan dan menyediakan hidup atau hanya salah satunya saja.
a. Materi (uang)
Jika melihat kehidupan para pastor, maka saya mengatakan bahwa mereka memberikan sekaligus menyediakan hidup bagi jemaat. Karena memang kebutuhan sehari-hari dari para pastor ditanggung penuh oleh jemaat, sehingga mereka setidaknya merasa tidak kekurangan dari segi kebutuhan. Akan tetapi, bagaimana dengan pendeta, yang mempunyai tanggungan keluarga dengan gaji yang pas-pasan? Mungkin seorang pendeta merasa kecukupan dengan gajinya yang rata-rata pas, namun bagaimana dengan masalah uang pendidikan anak-anaknya, uang makan keluarganya, dan kebutuhan lainnya? Apakah dengan adanya hal ini kita bisa dikatakan bahwa pendeta hanyalah seorang pelayan yang hanya mampu menyediakan hidup dan tidak mampu untuk memberikan hidup? Pertanyaan di atas sebenarnya terkait dengan konsep spiritualitas pelayan yang anawim, di mana seorang pelayan dipahami sebagai orang yang terpanggil untuk melayani dan hidup miskin. Tentunya dengan mengingat konteks dari seorang pendeta itu sendiri, kita tidak bisa langusng mengatakan bahwa seorang pendeta hanya mampu untuk menyediakan hidup saja. Konteks saat ini adalah harga akan kebutuhan sehari-hari cenderung melonjak, entah kebutuhan akan makanan sehari-hari, kebutuhan akan pendidikan, dll. Hal ini tentunya menyebabkan seorang pendeta “terpaksa” tidak mampu mengabdikan seluruh hidupnya – baik pikiran, tenaga, dan waktu hanya bagi jemaat, karena ia juga mempunyai tanggung jawab di dalam keluarganya di samping bertanggung jawab atas penggembalaan jemaat. Menurut Bons-Storm, seorang pendeta adalah “gembala khusus penuh waktu” di mana hasil pembelajarannya (ilmu teologi) dan karunia-karunia khusus yang dimilikinya digunakan dalam penggembalaan jemaat. Oleh karena itu, seorang pendeta pun juga adalah seorang pelayan kristiani yang memberikan hidup sekaligus menyediakan hidup bagi jemaat. Hal yang membedakan pelayanan seorang pastor dan seorang pendeta hanyalah terletak pada pola pelayanan mereka.

b. Waktu
Jika kita berbicara mengenai pelayanan yang terkait dengan waktu, maka pertanyaan bagi kita adalah: sejauh mana seorang pelayan mampu memaksimalkan waktu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-harinya untuk pelayanan? Dalam hal ini, pikiran kita secara tidak langsung akan terfokus pada ke-efektifitas-an waktu pelayanan. Namun, saya tidak akan terlalu membahas panjang lebar mengenai tingkat ke-efektifitas-an waktu pelayanan karena memang baik bagi seorang pastor maupun seorang pendeta tidak akan selalu bisa menggunakan seluruh waktu dalam hidupnya untuk pelayanan. Mengapa saya berkata demikian? Katakanlah ada seorang jemaat yang membutuhkan pelayanan konseling, sehingga dia menghubungi pastor atau pendeta untuk melayani dia. Pembicaraan awal mungkin tidak terlalu menyelesaikan masalah yang dihadapi jemaat tersebut. Pertanyaan selanjutnya: apakah si pelayan tersebut dapat atau bisa mendampingi setiap saat? Karena jika permasalahan belum selesai, maka jemaat tersebut pasti akan terus/masih bergumul dengan permasalahan yang dihadapinya. Secara teori mungkin kita bisa berkata “ya/dapat”, namun bagaimana realitanya? Seorang pastor atau pendeta juga adalah seorang manusia yang mempunyai keterbatasan, baik keterbatasan tenaga maupun pikiran. Oleh karena itu, pasti ada saat di mana si pelayan tidak dapat berada di samping jemaat yang bermasalah tersebut atau memperhatikannya dengan segenap pikiran maupun tenaga, walau pun “saat” tersebut mungkin hanya beberapa menit/jam saja. Hal ini baru satu jemaat, belum lagi ada jemaat lain yang juga membutuhkan pelayanan dari pastornya atau pendetanya. Selain itu, pelayanan dari seorang pastor atau pendeta ‘kan tidak hanya konseling saja, melainkan juga ada hal-hal lain seperti khotbah, pengorganisasian gereja, visitasi, dan lain-lain. Kita kembali pada pertanyaan awal: sejauh mana seorang pelayan mampu memaksimalkan waktu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-harinya untuk pelayanan? Menurut saya, dalam hal ini kita perlu – setidaknya – membedakan seorang pastor dengan seorang pendeta. Mengenai hal ini, seorang pastor mungkin bisa dikatakan mempunyai banyak waktu pelayanan dibandingkan dengan seorang pendeta. Mengapa saya bisa berpendapat demikian? Satu kata kunci bagi kita: keluarga. Keluarga dalam hal ini adalah istri/suami dan juga anak-anak dari si pelayan kristiani. Seperti yang kita ketahui bahwa seorang pastor memang diwajibkan hidup selibat, sehingga ia tidak mempunyai tanggungan/beban keluarga – dalam artian seperti di atas. Namun, bagaimana dengan seorang pendeta? Pada umumnya, seorang pendeta mempunyai keluarga. Hal ini bisa saja menjadi “hambatan” dalam pelayanan dari si pendeta. Selain menggembalakan dan memperhatikan jemaatnya, seorang pendeta yang berkeluarga juga harus memperhatikan pula keluarganya. Memperhatikan keluarga memang dapat juga disebut sebagai pelayanan, namun yang saya maksudkan pelayanan di sini adalah pelayanan untuk jemaat gereja. Faktor keluarga inilah yang menjadikan seorang pendeta tidak mempunyai waktu pelayanan sebanyak yang dimiliki oleh seorang pastor. Namun, apakah dengan demikian seorang pendeta tidak mampu memberikan hidupnya? Saya rasa tidak! Hanya yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: sejauh mana seorang pendeta dapat memaksimalkan waktunya yang sedikit tersebut untuk pelayanan. Oleh karena itu, seorang pendeta atau pun pastor akan dapat dikatakan memberikan hidupnya untuk pelayanan jika di dalam waktu-waktunya maupun kesibukkannya ia tetap mengupayakan sebuah pelayanan.

4. Jiwa Kepemimpinan seorang Hamba Tuhan
Seorang pelayan yang juga adalah gembala mengandung makna bahwa ada pola kepemimpinan di dalam sebuah pelayanan. Lalu, bagaimana dengan pola kepemimpinan seorang pendeta/pastor di dalam sebuah gereja? Tentu saja seorang pemimpin yang kedudukannya sudah disahkan, sekaligus akan menggunakan “kekuasaanya”, agar ia dapat menjalankannya. Pola kepemimpinan seperti ini dipandang sebagai formal-leadership, kepemimpinan yang bersifat resmi, yang tersimpul dalam suatu jabatan. Pemimpin yang bersifat resmi ini selalu menjalankan tugasnya berdasarkan landasan-landasan atau peraturan resmi. Akan tetapi, pola kepemimpinan dalam sebuah gereja bukanlah kepemimpinan yang formal-leadership. Kepemimpinan seorang pendeta/pastor bukanlah berdasarkan jabatan, melainkan lebih bersifat fungsional. Seorang pelayan dalam hal ini bertanggung jawab bukan pada institusi di atasnya, melainkan pada gereja/jemaat dan Tuhan selaku Kepala Gereja. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi seorang pemimpin dalam hal ini adalah lebih kepada fungsi relasional dan pembangunan jemaat. Gereja adalah sebuah kesatuan organis, sehingga perlu adanya hubungan yang harmonis dan membangun di antara jemaat gereja itu sendiri. Dalam hal inilah fungsi seorang pemimpin dibutuhkan, yaitu memberdayakan jemaat dan memelihara iman jemaat kepada Kristus. Di dalam sebuah gereja memang ada sebuah “institusi”, namun bukanlah sebuah institusi seperti lembaga-lembaga pemerintahan pada umumnya. Institusi di dalam gereja bertujuan juga untuk pembangunan jemaat dan gereja itu sendiri. Institusi untuk pelayanan jemaat, bukan sebaliknya. Dalam hal inilah, profesionalisme pelayanan diperhadapkan pada konsep institusi pada umumnya. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimanakah konsep institusionalisme dan profesinalisme di dalam sebuah gereja. Jika institusi cenderung memperlakukan filosofi (visi/misi), tradisi dan peraturan sebagai tujuan pada dirinya, maka profesionalisme setia terhadap sesuatu yang lebih besar (teologi: pengenalan akan kehendak dan karakter Allah) dan terbuka terhadap pembaharuan filosofi, tradisi dan peraturan sejalan dengan perkembangan. Institusionalisme mementingkan kewibawaan lembaga dan demi itu menuntut pengorbanan manusia. Sementara itu, profesionalisme lebih mementingkan manusia dan demi itu mengupayakan keluwesan (fleksibilitas) lembaga. Institusionalisme menumbuhkan kebanggaan berlebihan (hingga taraf fanatisme) terhadap institusi (denominasi), sedangkan profesionalisme menumbuhkan karakter yang menembus batas-batas institusi. Institusionalisme cenderung menertibkan, menyeragamkan, menggeneralisasi, membatasi perkembangan dan menuntut ketaatan. Profesionalisme membebaskan, menghargai perbedaan, mempertimbangkan keunikan-keunikan, mendorong perubahan, dan menumbuhkan kesadaran akan tanggungjawab. Institusionalisme memutlakkan peraturan (deontologist), sedangkan profesionalisme menolak legalisme tanpa menjadi anti-nomian. Institusionalisme membedakan orang berdasarkan hirarki, sedangkan profesionalisme membedakan orang berdasarkan kebutuhan dan potensinya. Dalam hal ini, profesionalisme dalam pelayanan juga diperhadapkan dengan konsep mengenai manajerialisme, mengingat bahwa gereja juga mempunyai sifat sebagai institusi. Manajerialisme berfokus pada program: bagaimana agar tujuan program tercapai, orang-orang dengan keahlian apa saja yang diperlukan, bagaimana struktur organisasinya, strategi apa yang tepat, berapa anggaran dibutuhkan. Dalam hal ini tidak ada tempat bagi layanan di luar program. Manajerialisme menerjemahkan misi ke dalam indikasi-indikasi kuantitatif (jumlah pengunjung, banyak-sedikitnya persembahan, volume pekerjaan, banyak-sedikitnya keluhan/pujian, dsb). Manajerialisme cenderung mengutamakan spesialisasi di atas persekutuan (keterhubungan) dan efisiensi di atas pengorbanan (utilitarian). Dalam manajerialisme, pendeta/pastor berperan sebagai pelatih, direktur (dengan simbol-simbol perkantorannya), supervisor atau problem solver. Akan tetapi, profesionalisme menempatkan program sebagai sarana untuk mewujudkan fungsi dan misi gereja. Oleh karena itu, pendeta/pastor profesional perlu senantiasa menghadirkan dimensi ekklesiologis dan spiritual dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program, untuk menghindari pendekatan manajerialisme di dalam pelayanannya yang juga mempunyai dimensi kepemimpinan. Pada intinya, pola kepemimpinan di dalam pelayanan tidak lain dan tidak bukan adalah pola penggembalaan komunitas di dalam gereja.

D. Kesimpulan

Sejauh ini kita sudah tahu sedikit banyak mengenai spiritualitas pelayanan, namun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah seorang pelayan kristiani mempunyai spiritualitas pelayanan – seperti yang sudah kita bahas sebelumnya – di dalam konteks zaman saat ini? Tampaknya spiritualitas pelayanan seperti yang sudah kita bahas sebelumnya hanyalah suatu idealisme saja di dalam konteks zaman saat ini. Konteks zaman saat ini memang menuntut orang, bahkan seorang pelayan kristiani sekali pun, untuk mempunyai “materi” agar bisa bertahan hidup. Akan tetapi, salah jika kita membuat pelayanan yang kita lakukan termotivasi oleh materi. Orang hidup memerlukan materi, akan tetapi hidup bukanlah untuk materi. Apalagi seorang pelayan, maka sudah seharusnya ia lebih memperhatikan pelayanannya dan jemaat/gereja bahkan masyarakat yang dilayaninya. Seorang pelayan kristiani, selain mempunyai fungsi sebagai pelayan juga mempunyai fungsi sebagai pemimpin/gembala. Seorang pemimpin pada umumnya akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk menguasai atau menekan pihak yang dikuasainya, apalagi jika jabatan kepemimpinan tersebut sudah disahkan berdasarkan paham tertentu. Akan tetapi, bukan pola kepemimpinan seperti ini yang seharusnya ada di dalam gereja. Pendeta/pastor adalah pemimpin bukanlah dalam artian pemimpin kekuasaan, melainkan dalam artian relasional (organisme). Berdasarkan hal tersebut, maka seorang pemimpin adalah penghubung bagi semua jemaatnya. Sementara itu, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pendeta/pastor bukanlah untuk menguasai, melainkan untuk menjalin relasi.
Walau pun spiritualitas pelayanan “hanya” sebuah idealisme, namun bukan berarti kita, sebagai calon-calon pelayan gereja, tidak dapat mempunyai sebuah spiritualitas dalam pelayanan. Sebagai seorang manusia yang kurang sempurna, maka kita diharapkan untuk dapat selalu berproses. Hal inilah yang menjadi “PR” bagi kita. Apakah kita mau menjadi “robot pelayan” bagi gereja? Ataukah kita mau untuk selalu berproses menjadi seorang pelayan yang mempunyai spiritualitas di dalam pelayanannya? Walau pun spiritualitas pelayanan sulit untuk dirumuskan, namun jika kita melihat kembali apa yang sudah kita bahas sebelumnya, maka saya merumuskan spiritualitas pelayanan adalah sebagai berikut: Pelayanan yang memberikan dan menyediakan hidup, yang lebih melihat manusianya daripada institusi, yang menjadikan hidupnya sebagai “jendela” bagi jemaat untuk memahami karya Allah, yang menjadikan kepemimpinannya sebagai pelayanan, dan yang menyadari bahwa pelayanannya adalah suatu anugerah dari Tuhan dalam hidupnya.



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 22:20 and have 0 komentar

No comments:

Post a Comment