Adat Batak
dan Kekristenan di Tinjau
dari
Perspektif Dogmatis
Pengantar
Injil
diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh dengan adat kebudayaan serta
berhadapan dengan adat kebudayaan suatu masyarakat atau suku-suku. Dalam
pertemuan injil dan adat tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur adat
kebudayaan, terdiri dari: Sistem relegius dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem kesenian, dsb. Adat
merupakan hal yang sangat penting dalam suatu masyarakat, apalagi di dalam
masyarakat Batak. Sebelum kekristenan memasuki tanah Batak, adatlah yang
menjadi hukum sekaligus aturan paling tinggi diakui. Tetapi setelah kekristenan
memasuki tanah Batak, pandangan tehadap makna “adat” mengalami pergeseran.
Bahkan ada yang beranggapan bahwa adat tidak perlu lagi dipelihara, sebab
dianggap budaya kafir atau hasipelebeguon. Dengan demikian, berangkat
dari pemaparan di atas penulis ingin memaparkan mengenai sikap kekristenan
terhadap adat kebudayaan Batak dari perspektif dogmatis.
Definisi Adat dan Kekristenan
Adat
adalah kata Arab, yang juga diambil-alih oleh bangsa-bangsa yang bukan Islam di
Asia Tenggara sebagai pinjaman, sebagai juga dengan sedikit perubahan. Asal
katanya ialah kata kerja ada, berbalik-kembali, datang-kembali, artinya:
yang lazim, dengan demikian: kebiasaan. Sinonim yang lebih tua dalam
sejarah Indonesia ialah biasa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu abhaysa.
Definisi
Adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang
satu dengan yang lainnya berkaitan dengan suatu sistem. Aturan (perbuatan) itu
lazim dituruti dan dilakukan sejak dahulu kala di suatu daerah tertentu.
Menurut pendapat Verkuyl, sebagaimana dikutip oleh Mangapul Sagala bahwa kata
“adat” berasal dari bahasa Arab “ada” yang berarti cara yang telah lazim atau
kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.
Sedangkan,
definisi Kristen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah nama agama
yang disampaikan oleh Kristus (Nabi Isa). Mengkristenkan berarti menjadikan
penganut (pemeluk) agama Kristen; menjadikan Kristen. Kekristenan adalah
keadaan atau sifat yang menyangkut agama Kristen.
Seorang
Kristen biasanya digambarkan sebagai “seorang yang percaya kepada Yesus
Kristus” atau sebagai “seorang pengikut Yesus Kristus.” mungkin lebih tepat ia
digambarkan sebagai seorang yang menganggap dirinya adalah milik persekutuan
dari orang-orang untuk siapa Yesus Kristus - hidup-Nya, perkataan-Nya,
perbuatan-Nya, dan tujuan-Nya - adalah yang paling penting sebagai kunci untuk
memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka, sumber utama pengetahuan akan
Allah dan manusia, yang baik dan yang jahat, sahabat tetap hati nurani, dan
pembebas dari kejahatan yang dinantikan.
Sejarah Singkat Masuknya
Kekristenan Ke Tanah Batak
Sampai
tahun ± 1800 M penduduk Tanah Batak di pedalaman Sumatera Utara di
daerah-daerah Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Dairi dan Karo masih
animis. Walaupun daerah pesisir dikuasai oleh sultan-sultan yang bukan orang
Batak, tetapi daerah pedalaman yang merupakan dataran tinggi dengan banyak
jurangnya tidak diganggu, dibiarkan saja dalam “splendid isolation“.
Barulah
pada permulaan abad 19 M penduduk daerah Mandailing, yang berbatasan letaknya
dengan daerah Minangkabau, didatangi oleh tentara Padri. Penduduk daerah
Mandailing, begitu pula penduduk daerah Angkola di sebelah utara Mandailing,
beralih menjadi pemeluk agama Islam. Usaha tentara Padri itu juga meng-Islamkan
daerah Toba (Tapanuli Utara), yang terletak di sebelah utara Angkola, tidak
berhasil. Hal itu disebabkan serbuan ini, yang hendak menerobos ke pantai Danau
Toba, dapat dihancurkan oleh tentara Batak, yang terdiri dari para sukarelawan,
di suatu tempat yang terjal dengan jurangnya yang amat dalam bernama Tanggabatu
(di anatara kota Balige dan kota Siborong-borong). Di daerah-daerah yang
telah dilalui oleh tentara Padri tersebut, yaitu di Silindung dan di Humbang Timur,
banyak rumah adat habis terbakar. Perang itu berakhir tahun ± 1830 M.
Pada
tahun 1861 datang zending Kristen dari Jerman Barat ke Sipirok, sebuah kota
kecil di daerah Angkola dekat perbatasan dengan daerah Toba. Hanya sebagian di
antara penduduk di sana bersedia memeluk agama Kristen. Tiga tahun kemudian,
yakni pada tahun 1864 Zending tersebut memindahkan pusat kegiatannya ke
Tarutung di daerah Tapanuli Utara. Pada masa itu belum ada suasana pertempuran,
karena perang yang akan dipimpin oleh Sisingamangaraja melawan serbuan Belanda
barulah meletus pada tahun 1877. Sikap seorang pendeta Jerman Dr. I. L.
Nommensen (lahir tanggal 6 Februari 1834), yang pandai berbahasa Batak, sangat
merakyat dalam pergaulannya dengan penduduk sehingga ia diberi gelar Ompu,
artinya “kakek”. Agama Kristen cepat tersebar di kalangan penduduk Tapanuli
Utara, misalnya pada tahun 1881 penduduk di Balige, letaknya di tepi Danau
Toba, mulai memeluk agama Kristen. Pendeta
Nommensen wafat pada tahun 1918 dan untuk memenuhi pesannya sewaktu masih hidup
dimakamkan dekat sebuah gereja di Sigumpar, tempat ia mengabdi pada akhir
hidupnya, kira-kira 60 km di sebelah utara Tarutung. Penggantinya sebagai
pemimpin Zending itu ialah Dr. Warneck. Selain seorang pendeta, beliau ini
seorang penullis kamus Batak-Jerman serta buku-buku ilmiah lainnya. Dari daerah
Toba tersebut Zending Jerman tersebut meluaskan kegiatannya ke daerah
Simalungun dan Dairi dengan hasil baik juga. Zending Belanda berusaha pada
tahun 1904 menyebarkan agama Kristen ke daerah Karo, akan tetapi hasilnua tidak
segemilang yang dicapai oleh Zending Jerman daerah Toba, Simalungun dan Dairi.
Selain membawa agama Kristen, Zending giat memperkenalkan pengobatan modern
serta pendidikan sekolah dalam pengabdiannya kepada penduduk. Pendidikan
sekolah sudah lebih dulu tertanam oleh penjajah di Sumatera Barat dan membuahkan
hasil di sana, lalu di daerah itu secara berangsur-angsur tersebar semakin ke
utara di Sumatera Utara. Adat Batak juga berkembang terus sesudah mengalami
integrasi dengan agama yang baru dianut oleh penduduk di Sumatera Utara, yaitu
Kristen dan Islam.
Adat Batak
Adat
Batak adalah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan masyarakat Batak
yang tumbuh dari usaha orang di dalam masyarakat tersebut, sebagai kelompok
sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Jadi, di
dalamnya termuat pula peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan mengatur
hidup bersama dari pada masyarakat Batak.
Pada
dasarnya, memang kegiatan masyarakat di dalam tatanan adat dan budayanya adalah
benar-benar bagian dari hidup dan kehidupan mereka. Kegiatan keseharian
dilakukan dengan tetap memikirkan dan berlandaskan kelayakan dalam kewajaran
yang berpedoman pada adat dan kebiasaan masyarakatnya yang dilakukan sejak
kehamilan seorang Ibu hingga pada saat warga adat itu meninggal dunia.
Makna Adat bagi Orang Batak
Kehidupan
masyarakat Batak dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa
dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka,
kematian dan lain-lain. Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia
itu di dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau life
cycle rites.
Peralihan
dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat
khusus.Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat
kehidupan itu mengandung bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang
atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya.
Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu
prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat itu. Beberapa
life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje
(kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe
goar (permandian dan pemberian nama), marhajabuan (menikah), mangompoi
jabu (memasuki rumah), manulangi (menyulangi/menyuapi), hamatean
(kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dsb. Pada
masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak
Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.
Susunan Kekeluargaan Adat Batak
Susunan
kekeluargaan atau kekerabatan masyarakat Batak didasarkan atas sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu. Arti Dalihan
Na Tolu secara harafiah adalah “tungku
nan tiga.” Satu cara yang dapat membantu kelancaran masak memasak tersebut
adalah dengan membentuk tiga penyangga, bisa terdiri dari batu dan besi. Dengan
tuga penyangga tersebut nyala api akan terjamin lebih bermanfaat, panasnya
merata dan berdaya guna serta aman. Kemudian
hal itu diberikan dalam suatu lambang yang memeliharakan tatanan terbaik bagi
masyarakat Batak dalam konsep kekerabatan yang ditata dalam bentuk dalam Dalihan Na Tolu, yang merupakan lambang jika diasosiasikan
dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga tiang penopang, yaitu Dongan Tubu, boru, dan hula-hula:
Kelompok Dongan Tubu (Dongan Sahuta) adalah yang satu
marga dengan kita, atau pernah satu kelompok marga dengan marga kita.
Kelompok Hula-hula adalah marga dari isteri kita dan marga orang
tua isteri anak lelaki kita dan bisa juga marga isteri dari dongan tubu
kita. Artinya marga hula-hula
adalah marga darimana saja kita dan kelompok marga mengambil isteri.
Kelompok Boru adalah marga yang mengambil isteri dari marga
kita, atau marga suami dari anak perempuan kita, marga yang mengambil
perempuan yang berasal dari kelompok marga kita sebagai isterinya.
Perjumpaan Adat Batak dan
Kekristenan
Perjumpaan Adat Batak pada Awal
Masuknya Kekristenan di Tanah Batak
Persoalan
besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk
sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat
dalam upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam
kegelapan rohani (haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon).
Permasalahan tersebut muncul ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama
kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa
kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen
masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada
masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri. Nommensen mencoba
membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
Adat yang netral
Adat yang bertentangan dengan
Injil
Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum
masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras
dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk
penggunaan musik dan tarian (gondang dan tortor) Batak.
Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu banyak yang dikucilkan dari
masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka dengan membangun
perkampungan baru, yang disebut Huta Dame. Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing
pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah upacara kematian. Raja
Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung
untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja Batak
yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai
andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau
raja-raja di wilayah Silindung.
Namun
sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah
satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri.
Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan
dengan Injil dan upacara adat mana yang netral. Pada masa-masa akhir pelayanan
para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat Kristen Batak muncul suatu
desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti
kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil
dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942). Tekanan
supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari
strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat
Batak. Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang
memimpin di wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya
segera diikuti dengan pembaptisan massal dari penduduk di wilayah itu, yang
umumnya memiliki ikatan kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para
Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara. Pihak
gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak
didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya
mengingat cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh
pasukan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah
dikristenkan dapat dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki
pertobatan pribadi, mengikut Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah
mengerti ajaran Injil. Dalam kenyataannya, pembaptisan massal kerabat seorang
raja yang menjadi pengikut Yesus banyak dilakukan karena solidaritas
kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari pemahaman akan Injil Yesus
Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan kemuliaan Injil Yesus
Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh kuasa Roh Kudus
dan mengerti keunikan Injil Kristus. Pembaptisan
massal tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris
dalam melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris,
banyak anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip
sejati pemuridan Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi
dalam pemikiran dan cara hidup mereka masih sebagai orang Batak Haholomon (kegelapan)
yang terikat dengan cara pikir dan cara hidup hasipelebeguon. Persoalan
ini juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas
dari pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum
dapat memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara
adat Batak merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap
yang belum pernah dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi
jenis-jenis upacara adat Batak yang harus ditinggalkan. Namun pada prinsipnya,
mereka sangat menekankan bahwa segala bentuk hasipelebeguon harus
ditinggalkan, karena bertentangan dengan Firman Tuhan. Pdt.
I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang
tegas melarang keberadaan berbagai unsur upacara Hasipelebeguon,
termasuk tortor dan gondang. Tetapi Gustav Pilgram yang melayani
di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan gondang dilaksanakan
dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon harus dihilangkan,
pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari, peralatannya milik
orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh orang yang belum percaya kepada
Tuhan Yesus. Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak orang Batak
sebagai lampu hijau bagi penerimaan adat Batak di dalam kekristenan.
Sikap Kekristenan Terhadap
Kebudayaan
Richard
Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang
sikap kekristenan terhadap kebudayaan dalam bukunya “Christ and Culture”
atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap kekristenan
terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam lima sikap, yaitu:
Paralel : Kebudayaan/adat
bisa diterima oleh kekristenan. Menerima unsur-unsur kebudayaan/adat yang
bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.
Kontradiksi : Kekristenan
menolak kebudayaan/adat. Kekristenan menentang kebudayaan/adat khususnya
terhadap unsur-unsur yang secara total bertentangan dengan kekristenan,
umpamanya terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupan yang tidak membangun
seperti poligami, perjudian, perhambaan.
Akomodatif : Kebudayaan/adat
turut mendukung di dalam kekristenan, terutama dalam menyebarkan Injil atau
ajaran kekristenan. Misalnya, menyanyikan lagu rohani dengan diiringi
uning-uningan (alat musik tradisional Batak).
Transformatif : Menerima
unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil.
Misalnya, tata perkawinan, seni tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi
sarana Injil untuk membangun iman dan kehidupan.
Asimilatif : Kekristenan
dan kebudayaan saling berbaur atau bercampur. Kelompok yang menganut paham ini
merasa tidak ada ketegangan besar antara kekristenan dan kebudayaan/adat.
Mereka berusaha menyesuaikan kekristenan dan kebudayaan/adat. Namun penyesuaian
ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan analisa bagian-bagian
kebudayaan/adat yang tidak sesuai dengan kekristenan. Dengan demikian ada
perdamaian kekristenan dengan kebudayaan/adat.
Adat Batak Ditinjau dari
Perspektif Dogmatis Kristen
Persoalan
yang utama bagi orang Batak yang menganut agama Kristen ialah persoalan tentang
adat, adanya keraguan dalam pelaksanakan adat. Bagi segolongan orang, adat
dikatakan sebagai bentuk kekafiran atau praktek okultisme. Persoalan ini sudah
menjadi perbincangan yang hangat dari masa ke masa. Seorang yang sudah
memutuskan mengikut Kristus, apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat
Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon)
dan penyembahan berhala (hasipelebeguon)? Pada
zaman ini, masih terdapat orang Batak beragama Kristen yang melaksanakan adat
Batak yang memiliki unsur hasipelebeguon dan lebih mementingkan pesta
adat daripada acara gereja (ibadah). Sebagai contoh, upacara kematian (hamatean),
upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi), dan upacara
lainnya. Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti
agama Batak pada masa haholomon, kembali merebak dilakukan oleh
masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk
baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-tugu marga Batak. Tugu
tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu
parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan
mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau
dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit
Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak
pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di
tugu-tugu marga. Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan
itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian
tugu marga dimana tulang belulang leluhur tersebut dikuburkan kembali. Proses
pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa setan melalui datu (spirit
medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang belulang
leluhur marga. Orang
Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan
gelap, dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Tuhan
Yesus berkata: “Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika
demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan
setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat
mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24). Selain
itu, kelompok yang menolak adat Batak mengatakan bahwa keterlibatan dalam adat
di dalam perkawinan telah merampas hak-hak Allah dalam memberi berkat, yaitu
praktek Dalihan Na Tolu, terutama dari pihak hula-hula yang
diharapkan dapat memberikan berkat yang melimpah bagi kedua pengantin. Bagi
orang Batak, kata-kata berkat dari hula-hula sangat besar maknanya.
Sehingga ada istilah “Hata do hangoluan“, artinya ucapan atau perkataan
adalah kehidupan yang akan membawa kesejahteraan sosial rohaniah kepada
golongan yang melaksanakan pesta. Kadang-kadang orang Batak sendiri mengatakan
bahwa hula-hula itu seumpama illahi yang kelihatan, oleh sebab itu harus
dihormati.
Bagi
saya ucapan atau perkataan dari hula-hula itu hanya sebagai simbol
berkat yang tidak memilki kuasa untuk memberkati, hanya ucapan-ucapan nasehat
yang dapat menjadi pedoman atau cerminan dalam menjalani kehidupan.
Ucapan-ucapan nasehat itu bila diresapi dan dipratekkan dalam kehidupan
sehari-hari maka akan memberikan kesejahteraan bagi yang mempraktekkannya.
Tetapi, kalau ucapan yang dipahami sebagai berkat dari hula-hula
dijadikan suatu keharusan yang utama di setiap pesta adat. Ucapannya dianggap punya
kuasa yang dapat memberikan kesejahteraan hidup dan hula-hula tersebut
dihormati secara berlebihan sehingga dianggap illah yang tampak, hal itu yang
tidak bisa diterima. Hanya
Firman Tuhan di dalam Alkitab yang merupakan Firman (ucapan) yang hidup, dan
telah menjadi manusia yaitu Yesus Kristus, Anak Tunggal Bapa yang diberikan
kepada-Nya kemuliaan Allah (Yoh. 1:14). Dia saja yang dapat memberikan berkat
yang melimpah, memberikan kesejahteraan, melindungi hidup kita, dan memberikan
keturunan yang banyak bagi orang-orang yang selalu berserah dan
mengandalkan-Nya (Bnd. Bil. 6:24; Ibr. 6:14). Oleh karena itu, sudah selayaknya
puji-pujian dan sembah disampaikan hanya kepada Allah yang selalu memelihara
dan memperhatikan ciptaan-Nya, tidak kepada kuasa-kuasa duniawi (Mzm. 81:10;
Why. 4:11). Sedangkan iblis sendiri harus menyembah Allah dan hanya kepada Dia
sajalah berbakti (Mat. 4:10).
Dan,
penggunaan ulos juga dikatakan sebagai praktek okultisme karena dulunya
ulos dipercaya sebagai selembar kain yang indah Debata Mulajadi Nabolon
yang membungkus jiwa (roh) manusia, sehingga mendatangkan kesejahteraan jasmani
dan rohaniah. Karena hal itu maka banyak terjadi pembakaran ulos yang
dilakukan oleh golongan atau gereja yang menentang adat. Hanya
Allah yang berhak mengenakan ulos/membungkus roh kita dengan darah Yesus
Kristus yang telah mati di kayu salib sehingga memberikan berkat keselamatan
jasmani dan rohani (Gal. 3:27). Ulos harus dipahami sebagai kekayaan
budaya, alat yang dapat menghangatkan tubuh secara fisik. Tidak ada kuasa
apapun di dalamnya.
Lothar
Schreiner berpendapat, adat sebagai tata tertib yang diciptakan oleh nenek
moyang dan mempunyai dasar agamawi, yakni pemujaan-pemujaan yang biasa
dilakukan oleh nenek moyang (dalam agama suku). Melalui pertemuannya dengan
Injil harus dapat membebaskan adat tersebut dari sifat agamawinya yang
berkaitan dengan pemujaan-pemujaan nenek moyang, misalnya, penyembahan kepada Debata
Mulajadi Nabolon. Apabila demikian, adat dapat diterima oleh gereja dan
permasalahan mengenai pro dan kontra terhadap adat dapat diatasi dengan
berhasil. Dengan demikian adat dapat dipraktekkan oleh orang-orang Kristen
sebagai tata tertib sosial yang bebas dari dasar agamawinya. Adat itu tidak
dapat memperbaharui hati.
Dengan
bertitik tolak pada pandangan dan pernyataan tersebut kita dapat mengatakan
secara tegas bahwa adat yang memiliki dan membuahkan nilai-nilai positif dalam
tata kehidupan masyarakat Batak dapat atau bahkan perlu tetap dipertahankan.
Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam mempertahankan itu adalah bahwa
adat itu harus dilepaskan dari sifat agamawinya.
Contoh
adat yang memberikan nilai positif yaitu, di dalam hukum-hukum adat orang Batak
dulu khususnya di dalam perkawinan dilarang menceraikan istri meskipun menikah
lagi dengan perempuan lain yang berbeda (poligami), dan dilarang berzinah.
Walaupun tidak tertulis tetapi harus ditaati. Jadi ada nilai-nilai positif yang
dapat diambil. Dengan begitu, jauh sebelum orang Batak menerima ajaran
kekristenan, mereka telah mengamalkan bunyi hukum Allah yang berbunyi: “Jangan
berzinah. Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau
hambanya laki-laki atau hambanya perempuan,…..” (Kel. 20:14, 17).
Di
dalam Perjanjian Lama terdapat pengaruh adat yang positif, yaitu Hak. 18:7,
dikatakan: “……. Dilihat merekalah, bahwa rakyat yang diam di sana hidup
dengan tenteram, menurut adat orang Sidon, aman dan tenteram. Orang-orang itu
tidak kekurangan apapun yang ada di muka bumi, malah kaya harta.”
Gereja harus selalu mengawasi agar
unsur-unsur adat yang bertentangan dengan Injil tidak memasuki kehidupan umat
Kristen. Oleh karena itu, gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua
ritus-ritus untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan
ini, agar tidak terjadi penyembahan kepada ilah-ilah selain dari Tuhan Allah
(Keluaran 20 : 2-5).
Posted by 01:59 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment