ETIKA KRISTEN
DALAM
MENERAPKAN ADAT BATAK
PENDAHULUAN
Kata ‘etika’ berasal dari beberapa kata Yunani
yang hampir sama bunyinya, yaitu ethos dan éthos atau ta
ethika dan ta éthika. Kata ethos artinya kebiasaan, adat. Kata éthos
dan éthikos lebih berarti kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan
mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan.
Dalam bahasa Latin istilah-istilah ethos, éthos dan éthikos itu
disebutkan dengan kata mos dan moralitas. Oleh sebab itu kata
‘etika’ sering pula diterangkan dengan kata ‘moral’. Etika tidak hanya menyinggung
perbuatan lahir saja, tetapi menyinggung juga kaidah dan motif-motif perbuatan
seseorang yang lebih dalam.
Dalam bahasa Indonesia, istilah ‘etika’ dinyatakan dengan kata
‘kesusilaan’. Kata ‘sila’ terdapat dalam bahasa Sansekerta dan kesusasteraan
Pali dalam kebudayaan Buddha, mempunyai banyak arti. Pertama, sila berarti:
norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata itu menyatakan pula
keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga: sikap,
keadaban, siasat batin, perilaku, sopan-santun dan sebagainya. Kata su berarti:
baik, bagus. Kata ini pertama, menunjukkan norma dan menerangkan bahwa norma
itu baik. Kedua, menunjukkan sikap terhadap norma itu dan menyatakan bahwa perilaku
harus sesuai dengan norma.
Etika termasuk golongan ilmu pengetahuan
normatif yang mempunyai tujuan untuk menerangkan hakikat kebaikan dan
kejahatan. Hukum-hukum di dalamnya adalah hukum-hukum normatif yang meminta
kita membuat suatu pilihan keputusan jawaban “ya” atau “tidak”. Dunia manusia
senantiasa dikuasai oleh gagasan-gagasan mengenai yang benar dan yang salah,
yang baik dan yang jahat. Percakapan kita sehari-hari kebanyakan berisi
penilaian mengenai apa saja yang kita lihat maupun kita dengar. Cara orang
bertindak dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai apa yang baik dan yang jahat.
Manusia sebagai makhluk individual, hidup di dalam sebuah komunitas yang
mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Kita senantiasa diperhadapkan dalam
berbagai situasi yang membuat kita harus memilih bagaimana kita harus bersikap
dan berhubungan dengan sesama. Karl Popper, Conjectures and Refutations,
menulis: “Tradisi diperlukan untuk membentuk hubungan antara lembaga-lembaga,
maksud-maksud, dan penilaian-penilaian manusia individual ….. tak ada
sesuatupun yang lebih berbahaya dari pada penghancuran kerangka tradisional
ini”.
KEBUDAYAAN DAN MAKNANYA BAGI MANUSIA
Pandangan Umum tentang Kebudayaan
Kata “kebudayaan” sangat sulit didefinisikan.
The Willowbank Report dalam paper Lausanne Occasional tahun 1978, memberikan
definisi sebagai berikut: “Kebudayaan adalah suatu sistem terpadu dari
kepercayaan-kepercayaan (mengenai Allah, atau kenyataan, atau makna hakiki),
dari nilai-nilai (mengenai apa yang benar, baik, indah, dan normatif), dari
adat-istiadat (bagaimana berperilaku, berhubungan dengan orang lain, berbicara,
berpakaian, bekerja, bermain, berdagang, bertani, makan, dan sebagainya, dan
dari lembaga-lembaga yang mengungkapkan kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai,
dan adat-istiadat ini (pemerintahan, hukum, pengadilan, kuil dan gereja,
keluarga, sekolah, rumah sakit, pabrik, toko, serikat, klub, dan sebagainya),
yang mengikat suatu masyarakat bersama-sama dan memberikan kepadanya suatu rasa
memiliki jati diri, martabat, keamanan, dan kesinambungan”.
Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan
sebagai suatu sistem simbol dari makna-makna, yaitu kebudayaan adalah sesuatu
yang dengannya kita memahami dan memberi makna pada hidup kita. Geertz
mengatakan bahwa kebudayaan mengacu pada suatu pola makna-makna yang diwujudkan
dalam simbol-simbol yang diturunkan atau diwariskan secara historis, di mana
dengannya manusia menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan
serta sikap mereka mengenai kehidupan.
Pengalaman hidup manusia membuat kenyataan bahwa
nilai-nilai kita sendiri dibentuk dan ditentukan oleh kebudayaan. Tidak ada
sesuatupun yang kita pikirkan, katakan atau lakukan, bebas dari pengaruh ras,
kelas, usia, dan jenis kelamin. Iman tidak membuat kita bebas dari kebudayaan
karena kebudayaan adalah lingkungan yang di dalamnya apa yang kita percayai
terbentuk. Tidak ada tempat yang bukan merupakan tempat budaya. Bukan hanya
tindakan-tindakan pribadi kita, tetapi juga lembaga-lembaga sosial kita,
kebijakan-kebijakan ekonomi kita dan praktek-praktek politik kita, memcerminkan
dan mempengarhi kepercayaan-kepercayaan dari kebudayaan kita.
Kebudayaan dalam Perspektif Alkitab
Segera setelah manusia diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah (Kej. 1:26), Allah memberi perintah kepada manusia untuk
menguasai dan mengatur dunia. Dalam Kej. 1:28 tertulis, –Allah memberkati
mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah
banyak; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di
laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di
bumi”–. Kitab Kejadian mencatat dimulainya segala sesuatu yang ada di bumi,
termasuk dimulainya kebudayaan yang diciptakan manusia sebagai penerima mandat
budaya dari Allah. Dengan demikian, kebudayaan merupakan hasil karya manusia
yang sejalan dengan perintah Allah. Budaya memberikan pengaturan supaya manusia
bisa tinggal di suatu lingkungan bersama dengan sesama. Kita adalah makhluk
sosial yang saling berhubungan dan membutuhkan orang lain.
Ketika kita mengamati hasil karya manusia, yang merupakan wujud
dari kebudayaan, kita tidak hanya menemukan sisi positif serta keagungannya,
tetapi juga sisi negatif serta cacat celanya. Hal ini merupakan akibat wajar
dari kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (Kej. 3). Sebagai contoh,
dalam budaya Batak terdapat tradisi membangun tugu untuk mengumpulkan
tulang-belulang para leluhur, yang diungkapkan dengan pepatah: “Ditaruh
tulang-tulang bapa kita ke dalam makam yang lebih tinggi. Semogalah meningkat
kemakmuran/kesuburan, meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita
oleh nenek moyang kita, Dewata yang berbahagia, Disokong oleh roh para raja
(yang sudah meninggal) yang hadir di sini”. Pepatah ini memperlihatkan dengan
singkat corak dan makna pemujaan nenek moyang atau roh orang mati. Melalui
pemindahan, diberikanlah kuasa kepada orang mati tersebut menjadi bapa leluhur
yang dapat membagi-bagikan berkatnya kepada keturunannya. Hal ini jelas bertentangan
dengan iman Kristen.
Iman alkitabiah senantiasa membuat
pernyataan-pernyataan universal dan mutlak. Kita percaya bahwa Allah telah
menjadi manusia di dalam suatu zaman dan tempat tertentu demi kepentingan
seluruh dunia. Dialah Yesus, seorang manusia sempurna suku bangsa Yahudi dari
Nazareth; diakui sebagai penyataan Allah, yang menjadi suatu contoh keteladanan
hidup untuk setiap orang di dunia. Alkitab penuh dengan ajaran moral yang
ditulis dengan maksud dan tujuan untuk “mendidik orang dalam kebenaran” (1 Tim.
3:16-17). Yesus sendiri memerintahkan para pengikut-Nya untuk menjadi sempurna
–bukan sempurna menurut suatu ukuran budaya yang relatif sesuai situasi manusia
pada saat-saat tertentu–, melainkan sempurna seperti Allah (Mat. 5:48). Hal ini
meneguhkan otoritas Alkitab sebagai firman Allah yang menjadi sumber kekuatan
kebudayaan dalam membentuk dan menentukan segala pengetahuan dan sikap kita.
Terang firman Allah membuka semua budaya, menjadikannya transparan, bisa
melihat yang tersembunyi, yang benar dan yang salah.
Posted by 02:50 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment