ADAT SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA
Pandangan Umum tentang Adat
Kata “adat” berasal dari kata kerja âda (bahasa
Arab), yang artinya berbalik kembali, datang kembali. Sinonim lain dalam
kebudayaan Indonesia ialah, “biasa” yang berasal dari kata Sansekerta abhaysa,
yang mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
a. sebagai sediakala,
sebagai yang sudah-sudah, yang tidak menyalahi yang dahulu, tidak aneh, tidak
menarik perhatian;
b. sudah lazim, sudah
tersebar luas;
c. berulang-ulang, telah
dialami orang.
Dari terminologi ini maka pengertian adat adalah
tata kelakuan, perbuatan, tindakan yang biasa dilakukan di suatu daerah, yang
diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Tujuan dibuat adat adalah
untuk mengatur dan menata kehidupan manusia, untuk dapat aman, nyaman dan
damai. Adat adalah salah satu sarana untuk menyejahterakan manusia agar dapat
hidup dalam kerukunan dan kedamaian.
Adat dalam Perspektif Alkitab
Adat dalam Perjanjian
Lama
Kata yang berhubungan dengan adat dalam
Perjanjian Lama adalah kata Ibrani choq, chuqqah dan mishpat, yang mempunyai
arti: undang-undang, hukum, tata-tertib, kebiasaan, adat-istiadat, keputusan
atau ketetapan. Dalam beberapa nas, antara lain Keluaran 15:25; Yosua 24:25;
Ezra 7:10; Yehezkiel 20:18; 1 Samuel 30:25, yang berhubungan dengan kata choq
adalah ketetapan dan peraturan, baik yang dibuat oleh manusia maupun dibuat
oleh Tuhan, yang berguna untuk melindungi dan menjaga kehidupan manusia agar
tertib, aman, tentram dan sejahtera. Kita dapati juga adat atau kebiasaan yang
dilarang dan tidak diijinkan Tuhan untuk dilakukan oleh umat-Nya. Dalam 2 Raja
17:8; Tuhan melarang umat Israel meniru dan mempraktekkan adat-istiadat
bangsa-bangsa lain, yaitu perlakuan untuk menyembah berhala dan pola hidup yang
bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam Imamat 18:3,30; Tuhan melarang
umat-Nya untuk melakukan kebiasaan masyarakat Mesir. Dalam Yeremia 10:2; umat
Tuhan dilarang untuk mengikuti kebiasaan bangsa-bangsa sekitar, yaitu
penyembahan berhala, mempercayai kuasa dari benda-benda tertentu melebihi kuasa
Tuhan, penyembahan patung dan segala bentuk kesia-siaan lainnya.
Dalam penjelasan di atas
maka Perjanjian Lama menegaskan kepada kita:
a. Allah memberikan hukum,
undang-undang, adat, kebiasaan dan berbagai ketetapan bagi umat-Nya. Allah
mengijinkan bahkan memberkati manusia untuk melaksanakan adat yang tidak
bertentangan dengan ketetapan Allah, untuk memelihara keharmonisan hubungan
kita dengan Allah dan dengan sesama.
b. Allah melarang umat-Nya
untuk mengikuti adat dari luar Israel, seperti penyembahan berhala, karena itu bertentangan
dengan kehendak Allah, serta dapat merusak kebiasaan baik yang sudah dimiliki
oleh umat Allah.
Adat dalam Perjanjian
Baru
Kata “adat” dalam Perjanjian Baru adalah
terjemahan dari kata paradosis yang mempunyai arti “adat-istiadat” (Mat. 15:2,6;
Markus 7:3,5,8,9,13; Gal. 1:14), dan kata ethos yang mempunyai arti “kebiasaan”
(Yoh. 19:40; Kis. 6:14). Sebegitu jauh, pemakaian itu adalah seragam dan jelas.
Di kitab-kitab lainnya, “adat” itu merupakan terjemahan dari sejumlah
istilah-istilah Yunani. Misalnya, entaphizein untuk adat penguburan (Mat.
26:12); eithismenos untuk kebiasaan pengudusan anak lelaki di Bait Suci (Luk.
2:27); synätheia untuk kebiasaan pergaulan (1 Kor. 11:16); anastrophe dalam 1
Pet. 1:18.
Perjanjian Baru menunjukkan bahwa masyarakat Yahudi mempunyai
adat-istiadat atau kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Dasar
timbulnya adat ini adalah hukum Taurat dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka
serap dari suku bangsa di sekitar mereka. Adat atau kebiasaan ini adalah ketentuan
manusia yang dipahami secara legalitas serta dipandang kudus di kalangan
orang-orang Farisi pada zaman Yesus. Orang Farisi menuntut penaatannya secara
mutlak seperti orang memenuhi perintah Allah. Dari Injil kita mengetahui
bagaimana sikap Yesus terhadap adat Yahudi ini. Yesus mengikuti hukum yang
diatur oleh Musa, di mana setiap anak sulung berumur 8 hari harus dibawa ke
Bait Allah untuk diserahkan kepada Allah (Luk. 2:22-23). Pada saat memulai
pelayanannya Yesus mengikuti dan menghargai adat Yahudi tentang perjamuan kawin
di Kana (Yoh. 2:1-11).
Dalam Matius 12:1-8; orang Farisi dan ahli Taurat mengecam
murid-murid Yesus yang dianggap melanggar adat Yahudi, di mana murid-murid
memetik dan memakan bulir-bulir gandum pada hari Sabat, dan seolah-olah Yesus
tidak mempedulikan pelanggaran tersebut. Yesus dengan tegas menampik tuduhan
itu dengan mengambil contoh apa yang dilakukan Daud (1 Sam. 21:1-6). Ini
menunjukkan bahwa Yesus menghargai adat tetapi Dia tidak menghendaki
pengagungan adat di atas penyelamatan kehidupan manusia.
Fakta-fakta dalam
Perjanjian Baru memberikan kesimpulan:
a. Dalam seluruh
pelayanan-Nya, Yesus tidak pernah mengabaikan adat.
b. Yesus menghargai adat
tetapi Dia menolak adat yang menghalangi, menggagalkan atau membatalkan
kebenaran firman Allah. Adat tidak boleh melampaui anugrah dan keselamatan yang
diberikan Yesus bagi manusia.
c. Adat yang boleh
dipelihara dan dikembangkan adalah adat yang dapat membantu orang untuk
menghayati dan memperteguh imannya kepada Tuhan, serta menyejahterakan hidup
manusia.
Posted by 02:57 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment