Gerakan keesaan gereja
hampir sama tuanya dengan sejarah gereja itu sendiri. Sejak awal, gereja sudah
menghadapi masalah perpecahan, misalnya perpecahan antara gereja yang beranggotakan
orang-orang keturunan Yahudi dan gereja yang beranggotakan orang-orang
keturunan non Yahudi. Pokok persoalan mereka adalah persoalan apakah adat
istiadat Yahudi harus diberlakukan terhadap orang-orang Kristen non Yahudi atau
tidak. Menghadapi persoalan ini, para rasul mengadakan pertemuan di Yerusalem
dan menghasilkan sebuah keputusan yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen non
Yahudi tidak diwajibkan untuk melaksanakan adat istiadat Yahudi (Kisah Rasul
15). Dengan keputusan itu perpecahan gereja dapat dihindari dan gerakan keesaan
mulai menunjukan fungsinya.
Namun dalam
perkembangan gereja di kemudian hari, perpecahan antara golongan tidak dapat
dihindari. Perbedaan pandangan atas sebuah persoalan dan perbedaan tafsiran
atas sebuah teks menjadi pemicu perpecahan. Pada abad-abad pertama sudah lahir
berbagai aliran di dalam gereja. Momentum ini terus hidup dan berkembang di
sepanjang abad-abad pertengahan hingga pada zaman Reformasi. Karena itulah
sekarang ini kita dapat menemukan adanya berbagai aliran dan organisasi gereja
di seluruh dunia. Secara garis besar,
ada tiga golongan atau aliran gereja di dunia, yaitu gereja Ortodoks Timur,
Gereja Katolik Roma, dan Gereja-Gereja Protestan.
Menjelang akhir abad
ke-19 tumbuh kesadaran oikumenis di kalangan mahasiswa dan pemuda gereja. Pada
tahun 1884 mereka mendirikan sebuah organisasi oikumenis dengan nama “Young Men’s Christian Association”
(YMCA) yang kemudian disusul dengan “Young
Women’s Christian Association” (YWCA) pada tahun 1855. Kedua organisasi
gerakan keesaan ini kemudian menginspirasi lahirnya “World Federation of Christian Students” pada tahun 1895. Semangat
gerakan keesaan yang dipelopori oleh mahasiswa dan pemuda tersebut mendapat tanggapan positif dari para pemimpin
gereja, sehingga pada tahun 1910 para pemimpin gereja menyadari bahwa walaupun
mereka memiliki organisasi dan ajaran yang berbeda satu sama lain, tetapi
sebagai gereja Yesus Kristus mereka pada hakekatnya adalah satu. Berdasarkan
pengakuan dan kesadaran tersebut maka dilangsungkanlah sebuah konferensi
oikumenis pertama di kota Edinburgh. Peristiwa ini menjadi salah satu momentum
utama bagi gereja di dalam gerakan keesaannya di zaman modern. Hasil dari
konferensi Edinburgh adalah semangat untuk kembali mendekatkan diri satu sama
lain sebagai gereja Yesus Kristus agar tugas pelayanan dan kesaksian dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Perlu dicatat bahwa semangat gerakan keesaan gereja tersebut diprakarsai oleh
kalangan mahasiswa dan pemuda gereja. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Dr.
John R. Mott dari “World Student
Christian Federation” (WSCF), seorang mahasiswa Cornell University USA yang
sangat aktif dalam pelayanan dan gerakan keesaan gereja di zamannya. Ia bahkan
pernah mengunjungi Indonesia pada Kongres Pemimpin Pemuda di Bandung dan Yogyakarta (1926) dan menginspirasi
gerakan keesaan di kalangan pemuda dan
mahasiswa Kristen Indonesia dengan semboyan “Ut Omnes Unum Sint” (Yoh. 17:21) hingga dimulailah gerakan-gerakan
keesaan gereja di Indonesia yang dipelopori oleh Mahasiswa Kristen. Sebagai salah satu hasilnya adalah
berdirinya Persekutuan Mahasiswa Kristen se Jawa yang didirikan pada tanggal 28
Desember 1932 di Kaliurang yang menjadi tunas bagi deklarasi berdirinya Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia pada tanggal 9 Februari 1950.
Semangat gerakan
keesaan yang datang ke Indonesia melalui gerakan-gerakan mahasiswa Kristen
mendorong para pemimpin gereja untuk membentuk sebuah wadah keesaan yang
dideklarasikan pada tanggal 25 Mei 1950 dengan nama Dewan Gereja-Gereja di
Indonesia. Tujuan dari pada pendirian wadah gerakan keesaan ini adalah untuk
mewujudkan keesaan gereja di dalam persekutuan, pelayanan, dan kesaksiannya di
tengah masyarakat, bangsa, dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Posted by 03:07 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment