KONFENSI AUGSBURG 1530: BAPTISAN DAN JABATAN GEREJA

KONFENSI AUGSBURG 1530: BAPTISAN DAN JABATAN GEREJA

KONFENSI AUGSBURG 1530:
BAPTISAN DAN JABATAN GEREJA

Konfesi Augsburg bermula dari persetujuan yang diberikan Kaisar Charles V pada Diet Augsburg tahun 1530. Luther dengan menyetujui tulisan Melanchthon tentang Konfesi Augsburg memulai pekerjaan perumusannya ini dengan terlebih dulu meringkas “Teologi Lutheran” (1521) yang berjudul Loci Communes rerum theologicarum (Tema-tema dasar Teologi). Konfesi Augsburg ini terdiri dari dua bagian besar yaitu: Bab I berisikan “Pasal-pasal Iman dan Ajaran” dan Bab II berisikan “Pasal-pasal bantahan, Daftar Kekurangan yang telah diperbaharui”. Secara ringkas isi Konfesi ini sebagai berikut:
1. Dalam pendahuluan, Luther menjelaskan tiga hal yakni Pasal-pasal iman yang telah dihubungkan dengan dasar Alkitab.
2. Bab I Konfesi Augsburg ini berisi tentang: Pasal 1-3 menegaskan dogma Trinitas, menunjukkan persetujuan Lutheran dengan dasar teologi dari gereja mula-mula. Pasal 4-6 menggambarkan bagaimana kasih Allah dalam diri Yesus Kristus. Pasal 5 berisikan tentang imam. Pasal 7-15 membahas tentang gereja. Pasal 16 membahas tentang keterlibatan orang Kristen dalam politik. Pasal 17 membahas tentang kedatangan Kristus kali kedua. Pasal 18-20 membahas tentang hubungan di antara iman dan perbuatan baik. Pasal 20 adalah pasal yang terpanjang sebab pasal ini khusus membicarakan tentang “perbuatan baik” yang menjadi perjuangan Luther terhadap Katolik Roma. Pasal 21 berbicara tentang orang-orang kudus.
3. Bab II memiliki pembahasan yang lebih mendalam tentang: cawan Perjamuan Kudus untuk kaum awam, perkawinan para imam, bentuk ibadah misa, pengakuan pribadi, puasa, janji imam dan Uskup.
Artikel V: Jabatan Gerejawi
“Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Efesus 4:11-12).
Paulus secara jelas mengatakan adanya jabatan-jabatan dalam gereja yang bertujuan untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan Tuhan. Jabatan-jabatan tersebut adalah rasul, nabi, penginjil, gembala dan guru. Jabatan-jabatan gereja ini bukanlah ketetepan manusia tetapi ditetapkan oleh Allah sendiri. Sebab Paulus dan Barnabas “menetapkan penatua-penatua bagi jemaat” dalam masing-masing gereja di Listra, Ikonium dan Antiokhia (Kis. 14:21-23). Paulus juga memerintahkan Titus untuk “menetapkan penatua-penatua di setiap kota” (Titus 1:5). Jadi di satu tempat Paulus berbicara tentang bishop di Filipi (Fil 1:1) di lain tempat ia menyebut Arkhipus sebagai bishop di Kolose (Kol 4:17). Dalam catatan Lukas terdapat khotbah Paulus kepada penatua gereja di Efesus (Kis. 20:18-19). Alkitab menggunakan jabatan “bishop”, “penatua,” “gembala/pendeta,” dan “pelayan/minister,” secara interchangeable (saling bergantian). Bagi pelayan Firman biasanya digunakan istilah bishop. Pada waktu Paulus meminta Titus untuk menetapkan penatua-penatua di setiap kota ada pernyataan “sebab sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat (bishop) harus tidak bercacat (Titus 1:7, 1 Tim 3:1). Di tempat lain Paulus memberi salam kepada sejumlah bishop dalam satu gereja (Filipi 1:1). Dalam Kisah Para Rasul disebutkan adanya sidang penatua Efesus (Kis. 20:17) yang ia sebut sebagai bishop (penilik/overseer) (Kis. 20:28).
Jadi Alkitab sendiri menyatakan bahwa pelayan firman dibatasi hanya kepada jabatan tertentu saja yakni para bishop. Dalam surat kepada jemaat di Efesus Paulus tidak menyebutkan lagi ada jabatan yang menerima tugas pelayanan firman. Tetapi dalam Roma 12:7-8 dan 1 Kor. 12:28 Paulus menyebutkan (selain rasul, nabi dan pengajar) ada orang-orang yang memperoleh karunia untuk “mengadakan mujizat; untuk menyembuhkan; melayani, memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh”. Orang-orang yang memerintah gereja ini (selain rasul, nabi dan pengajar; 1 Kor. 12:28), dipilih dari jemaat untuk tugas mengawasi moral hidup jemaat dan menerapkan disiplin gereja bersama para bishop (pelayan firman).
Pelayanan untuk melayani orang-orang miskin diberikan kepada diaken. Keberadaan jabatan ini pertama kali disebutkan oleh Lukas dalam Kis. 6:3 berhubung pada waktu timbul “sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari” (Kis 6:1). Para waktu itu tugas melayani orang miskin ditangani oleh para rasul dan berhubung “jumlah murid makin bertambah” maka mereka kewalahan melakukan tanggung jawab mereka. Lalu para rasul mengatakan “kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja” sehingga mereka meminta dipilih 7 orang untuk diangkat menjadi diaken. Tugas utama mereka adalah melayani meja yakni melayani janda-janda, orang miskin dan termasuk orang sakit. Kelompok janda diperjelas oleh Paulus dalam suratnya kepada Timotius; “yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari 60 tahun, yang hanya satu kali bersuami dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik…” (1 Tim. 5:9-12) sebab mereka semua adalah tanggug jawab gereja.
Bagaimana para pemimpin gereja dipilih? Paulus telah menuliskan kriteria-kriteria untuk memilih para penilik (bishop) yang tertuang dalam Titus 1:7 dan 1 Tim. 3:1-7. Secara singkat orang-orang yang boleh dipilih untuk menjabat jabatan tersebut adalah orang-orang memiliki doktrin yang sehat, hidup yang suci, tidak terkenal sebagai orang yang bermasalah sehingga bisa memberikan masalah kepada pelayanan (1 Timotius 3:2-3, Titus 1:7-8). Persyaratan yang kurang lebih sama berlaku untuk diaken dan para penatua (1 Timotius 3:8-13). Selain kriteria tersebut, orang-orang ini harus juga memiliki kemampuan dan keterampulan untuk mengerjakan tugas yang akan mereka emban dalam pelayanan gereja. Sebab Kristus sendiri, sebelum mengutus para murid, Ia memperlengkapi mereka semua dengan hal-hal penting yang harus mereka miliki untuk mengerjakan tugas tersebut (Lukas 21:15, 24:49, Markus 16:15-18, Kis 1:8).
Dari pemahaman Alkitabiah di atas dihubungkan dengan ajaran Marthin Luther lewat Konfesi Augsburg 1530 Artikel V semakin dikuatkan bahwa jelaslah jabatan gerejawi yang ada di setiap Gereja-gereja Lutheran adalah kuasa dan perintah Allah untuk memberitakan Injil dan untuk mengampuni serta menetapkan dosa. Di samping itu juga untuk melayankan sakramen. Dengan demikian maka jabatan gerejawi bukan persoalan badani melainkan perkara-perkara yang kekal, terutama kebenaran yang kekal dengan berpusat kepada Kristus.
Untuk itu, jabatan gerejawi tidak diberikan kuasa untuk mengurusi atau mencampuri pemerintahan maupun kuasa duniawi; sehingga kuasa duniawi dan sorgawi tidaklah dapat disatukan atau dicampuradukkan, sebab kuasa rohani bertujuan untuk memberitakan Injil dan melayani sakramen. Maka dari itu, jabatan gerejawi adalah jabatan dengan fungsi yang memiliki kuasa yang berasal bukan dari manusia melainkan atas dasar firman Tuhan saja. Paulus dalam II Korintus 13:8 menyatakan, ”Kami tidak dapat berbuat apa-apa melawan kebenaran yang dapat kami perbuat ialah untuk kebenaran”, dan kuasa yang diberikan Tuhan adalah untuk membangun dan bukan untuk meruntuhkan (II Korintus 13:10). Oleh karena itu, dari keseluruhan peran dan tanggungjawab jabatan gerejawi adalah berpusat kepada Kristus dan haruslah juga akan dipertanggungjawabkan kepadaNya pula. 
Artikel IX: Baptisan
Baptisan yang arti dari bahasa Yunaninya adalah memandikan diperintahkan oleh Tuhan Yesus untuk dilakukan sebagai ritus gerejawi di dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus dan dalam melakukannya imam memercikkan air atau dapat dengan memandikan atau menyelamkan seseorang disertai dengan Firman Tuhan yang berkuasa untuk memateraikan pengampunan dosa warisan dan segala dosa yang ditimbulkan dari dosa warisan yang ada pada orang itu dan sekaligus menyatakan orang yang telah dibaptis tersebut menjadi warga Kerajaan Allah. Baptisan hanya dapat diterima dengan adanya iman, artinya bahwa orang yang dibaptis haruslah memiliki iman kepada Yesus Kristus.
Istilah baptisan berasal dari bahasa Yunani yaitu “βαπτισμα” (kata benda bentuk nominatif tunggal neuter) yang dapat diartikan dengan kata “baptisan”. Secara etimologi kata ini berasal dari kata dasar “βαπτω” yang mempunyai arti dasarnya ialah saya mewarnai, dan kemudian artinya berkembang menjadi saya membasahi, saya membenamkan. Kata ini juga dapat diartikan dengan saya mencelupkan, membersihkan atau memurnikan melalui pembasuhan.
Pengertian “βαπτώ” yang sering dipakai dalam kekristenan sekarang ini ialah berarti membaptiskan. Sedangkan bentuk infinitip dari kata “βαπτω” ialah kata “βαπτιζειν” yang berarti kata yang menyuruh untuk membaptiskan (baptislah). Kata “βαπτιζειν” ini menandakan tindakan luar yang kemudian menjadi syarat untuk usaha dari baptisan yang didasarkan pada Kristus. Demikian juga kata “βαπτιζω” (future orang pertama tunggal, aktif) sering dipakai dalam kultur pemandian Yahudi (bnd. Mrk. 7:41 dan Luk. 11:38). Sedangkan Yesus memakai kata “βαπτιζοντες” (Nominatif jamak maskulin, partisip present aktip) untuk menyuruh murid-muridNya membaptis di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (bnd. Mat. 28:19).
Kata “βαπτισμα” ini bukan hanya sekedar pencelupan ke dalam air belaka, namun melalui perantaraan air tersebut maka makna kata baptisan itu telah berubah, misalnya dalam Roma 6:4 kata dibaptiskan telah berubah makna menjadi dikuburkan dan dibangkitkan bersama Kristus. Sedangkan dari Efesus 4:5, kata “βαπτισμα” maknanya menjadi untuk membentuk arti kata yang menunjuk kepada satu kesatuan jemaat. Arti kata “βαπτισμα” juga bukan hanya menunjuk kepada tindakan/reaksi dalam bentuk dari luar tetapi mencakup tindakan dalam bentuk dari dalam. Tindakan dalam bentuk dari luar ialah dengan adanya penyucian melalui pembaptisan dengan air, sedangkan tindakan dalam bentuk dari dalam ialah dengan adanya pertobatan dan penyucian hati.
Menurut Luther, baptisan bukanlah hasil pikiran manusia, melainkan wahyu dan pemberian Allah. Baptisan tidak bisa dianggap sepele, melainkan harus dipandang sebagai sesuatu yang terbaik dan luhur. Meskipun baptisan merupakan hal lahiriah, namun yang jelas firman dan perintah Allah menetapkannya dan meneguhkannya. Lebih-lebih baptisan itu dilakukan di dalam namaNya. Luther mendirikan pendapatnya di atas nats ini: “Pergilah dan baptislah di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus…” (Mat. 28:19-20).
Dibaptis dalam nama Allah bukanlah dibaptis oleh manusia, melainkan oleh Allah sendiri. Karena itu, walaupun manusia yang melakukannya, baptisan itu benar-benar perbuatan Allah sekaligus. Artinya, jika pun seorang imam atau pendeta melayani sakramen baptisan kudus, sebenarnya Allah sendirilah pelaku utama dalam sakramen tersebut, bukan si pendeta. Luther berpendapat bahwa baptisan bukanlah air biasa saja, melainkan air yang terkandung dalam firman dan perintah Allah serta dikuduskan oleh-Nya. Dengan demikian baptisan tidak lain daripada Allah sendiri; bukan karena air itu lebih istimewa dari segala jenis air yang lain, tetapi karena firman dan perintah Allah yang menyertainya. Jadi, baptisan berbeda dengan air yang lain, bukan karena apa adanya, melainkan karena sesuatu yang lebih mulia menyertainya. Allah sendiri menaruh kemuliaanNya atasNya dan mengalirkan kuasa dan kekuatan ke dalamnya. Baptisan adalah suatu firman surgawi yang kudus, pujian apapun tidak cukup untuk memuliakannya, karena seluruh kuasa dan kemampuan Allah ada di dalamnya.
Oleh sebab itu, firman dan air jangan sekali-kali dibiarkan terpisah satu sama lain dengan cara apapun. Sebab jika terpisah, maka air tersebut tidak ada bedanya dengan air yang digunakan pelayan memasak, dan hanya dapat disebut sebagai baptisan pelayan kamar mandi. Tetapi, apabila disertai dengan firman Allah, maka baptisan itu adalah suatu sakramen dan disebut Baptisan Kristus. Dengan demikian yang pertama ditekankan ialah hakikat dan pentingnya sakramen kudus ini. “Siapa yang percaya dan dibaptis akan memiliki kesukaan yang kekal” (Mat. 16:16).
Inilah dasar biblis yang dikemukakan oleh Luther dalam mengkaji tujuan dan dampak baptisan. Dia meringkaskan bahwa kuasa, pengaruh, manfaat buah dan tujuan baptisan adalah agar orang-orang memiliki kesukaan kekal. Kesukaan kekal artinya suatu tanda bahwa telah dibebaskan dari dosa, maut dan iblis, masuk ke dalam kerajaan Kristus dan hidup bersama Dia selama-lamanya. Sehingga Luther mengatakan bahwa air yang digunakan dalam baptisan merupakan air ilahi yang memperoleh kuasa menjadi “kelahiran kembali”, seperti yang disebutkan Paulus dalam Titus 3:5. Oleh karena manfaat baptisan disebutkan dan dijanjikan dalam kata-kata yang menyertai air itu, maka manfaat itu tidak dapat kita terima bila kita tidak mempercayainya di dalam iman.
Menurut Luther, tidak ada mutiara yang lebih berharga daripada baptisan. Menurutnya, pemberian-pemberian dalam baptisan begitu banyak dan tak ternilai harganya, antara lain kemenangan atas maut dan iblis, pengampunan dosa, kemurahan Allah, Kristus seutuhnya dan Roh Kudus dengan pemberian-pemberian-Nya. Seseorang yang dibaptis menerima janji akan berbahagia selama-lamanya. Itulah dampak yang dihasilkan oleh perpaduan air dan Firman dalam baptisan, yakni bahwa tubuh dan jiwa memperoleh kesukaan yakni pemateraian atas pengampunan dosanya. Luther kemudian menghubungkan asumsinya dengan Roma 6, yang berbicara seputar topik kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Menurut Luther, baptisan sebagai sakramen yang kudus telah mengikutsertakan kita di dalam kematian dan kebangkitan Yesus.
Sah tidaknya baptisan tidak tergantung pada orang yang dibaptis, demikialah asumsi Luther menanggapi pertanyaan orang-orang tentang baptisan kepada anak. Menurutnya, baptisan bergantung pada Firman yang menyatu dengan air. Siapapun yang dibaptis, Allah berkenan atas baptisan tersebut, sebab memang Allah sendirilah yang menjadi aksiom baptisan. Luther mengatakan bahwa baptisan adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia. Oleh sebab itu, baik anak-anak ataupun orang dewasa, jika baptisan itu atas nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, maka baptisan itu adalah sah adanya. Jadi, sekalipun anak-anak belum percaya, baptisan mereka tetap sah, dan tak seorangpun bisa membaptis mereka kembali. Kita membawa anak untuk dibaptis bukan karena anak itu memiliki iman, melainkan karena Allah yang menghendakinya.
Sekali baptisan itu dimulai, maka kita terus-menerus berada di dalamnya. Sebab kita tidak pernah berhenti membersihkan apa-apa yang berasal dari Adam lama; dan apa saja yang termasuk manusia baru harus terus menerus muncul. Yang dimaksud oleh Luther dengan manusia lama adalah apa yang dilahirkan dalam diri kita dari Adam, yakni: amarah, cemar, iri hati, mesum, tamak, malas dan tinggi hati. Oleh karena itu, manakalah kita masuk ke dalam Kerajaan Kristus, semua ini mesti makin berkurang dari hari ke hari, sehingga makin hari kita makin lembut, sabar dan rendah hati, serta membuang ketamakan, kebencian, iri hati dan kesombongan.
Luther berpendapat bahwa dalam baptisan kita diberi anugerah, Roh dan kekuatan untuk menekan manusia lama, sehingga manusia baru dapat muncul dan bertumbuh kuat. Dengan demikian baptisan akan terus-menerus ada. Kalau kita jatuh dan berbuat dosa, pintu kepada baptisan selalu terbuka, sehingga kita dapat mengatasi lagi manusia lama. Bahkan dia mengatakan bahwa sekalipun kita mencelupkan diri ke dalam air beratus kali, yang ada hanyalah satu baptisan saja; tetapi pengaruh dari baptisan itu tetap ada dan berlaku. Karena itu, ia menganjurkan agar semua orang memandang baptisan sebagai pakaian sehari-hari, yang harus dikenakan senantiasa. Sebagaimana dosa kita telah diampuni, demikian juga pintu pertobatan selalu terbuka bagi setiap orang yang telah menerima baptisan, sepanjang ia mau kembali kepada Kristus.







share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 03:19 and have 0 komentar

No comments:

Post a Comment