Sejarah masuknya keKristenan di Tanah Batak
Sejarah
masuknya agama Kristen pada suku Batak adalah sejarah yang menceritakan
masuknya injil dan konteks perkembangannya sekitar tahun
1820-an hingga berdirinya Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP).
Konteks
Kehidupan Suku Batak Sebelum Injil Masuk di Tanah Batak
Suku Batak
adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya; mereka
memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka
terhadap orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai
penjajah. Selain itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar
suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku.
Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah berhala. Kehidupan
agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi.
Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu
djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul
kepala seseorang sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang
kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak
hewan dan berladang.
Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar
("onan") pada hari tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi
untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan
lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering
terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang
permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun.
Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes
dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan
kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku
Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat. Sejak mulai lahirnya seorang
anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual
adat.
Masuknya
Penginjil ke Tanah Batak
a.
Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis
Inggris
Pada tahun 1820
tiga utusan Pekabaran Injil Baptis
Inggris yaitu Nathan
Ward, Evans
dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke Utara,
ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih kafir. Burton dan Ward menuruti
petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir,
kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba. Saat mereka
tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun
perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan
penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan
bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk
tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu
juga.
b.
Penginjil utusan American Board of
Commissioners for Foreign Mission
Pada tahun 1834
dua orang Amerika, yaitu Munson
dan Lyman
yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission
(ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17 Juni 1834
mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834,
mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di
pinggir Lembah
Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834,
mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu
Pining. Pembunuhnya adalah Raja
Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di
Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.
c.
Penginjil utusan Rheinische
Missionsgesellschaft
Pada tahun
1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn
melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang
suku Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk
membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau
Sumatera. Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda,
hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa
Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab. Van der Tuuk adalah
orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak,
Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan
bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut
orang Batak di rumahnya. Van der
Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke
Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya.Tahun
1857, pekabar Injil G. Van
Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan
di Tapanuli Selatan. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran
Kristiani. Pada 31 Maret 1861,
dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus
Tampubolon dan Simon
Siregar. Pada tahun yang sama—tepatnya pada 7 Oktober 1861—diadakan
rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh
dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine
dan Pdt. Klemmer
serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz
dan Pdt. Asselt.
Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische
Missionsgesellschaft. Hari tersebut dianggap menjadi hari
berdirinya Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen
(1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862.
Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa
dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui
badan Misi Rheinische
Missionsgesellschaft. Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke
dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja Batak Pertama
yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan
tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya
Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala
karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan
pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat itu, sesudah
kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak
untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ.
Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada
orang banyak:
“
Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan
roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat.
Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso
jatuh ke tanah”. Ludwig Ingwer Nommensen
Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah
dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu
berbuat tidak baik padanya. Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya
hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi
badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat
perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan raja Batak
ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.
Perkembangan
Kekristenan setelah Injil Masuk di Tanah Batak
Suku Batak yang
masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung
halamanya karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku.
Keadaan seperti ini mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri,
yaitu Huta Dame
(kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen
berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881—jumlahnya
naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah
sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918, sudah tercatat 185.731
orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Pada tahun 1881,
Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya
hingga ia meninggal dunia pada 23 Mei
1918. Suku Batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan Ompunta (Nenek
Kita). Gelar ini menyejajarkan Nommensen dengan Si
Singamangaraja atau tokoh sakti lainya.
Posted by 05:35 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment