Biografi Sang Penginjil
Ludwig Ingwer
Nommensen
Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer
Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; lahir di Nordstrand,
Denmark
(kini Jerman),
6 Februari
1834 – meninggal
di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei
1918 pada umur 84 tahun)
adalah seorang penyebar agama Kristen
Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. yang berasal dari Jerman, tetapi
lebih dikenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah
gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Masa kecil
Nommensen berasal dari Pulau Noordstrand di Schleswig, yang pada waktu
itu merupakan wilayah Denmark. Keluarganya hidup dalam kemiskinan dan
penderitaan, sehingga sejak kecil, Nommensen terbiasa hidup dalam kondisi yang
demikian. Maka dari itu, sejak kecil, ia sudah mencari nafkah untuk membantu
orangtuanya. Ketika berumur 7 tahun, Nommensen memilih menggembalakan angsa
daripada duduk di bangku sekolah. Pada umur 8 tahun, ia mulai mencari nafkah
untuk membantu orang tuanya dengan cara menggembalakan domba. Pada
usia 9 tahun, ia belajar menjadi tukang atap. Lalu, pada usia
10 tahun, ia bekerja pada seorang petani yang kaya sambil belajar mengerjakan
tanah. Ia juga bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak tanah
petani kaya tersebut.
Pada tahun 1846, saat berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan. Sewaktu ia
bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia ditabrak kereta kuda yang menggilas
kakinya sampai patah dan keadaan yang demikian memaksanya berbaring di tempat
tidur berbulan-bulan lamanya. Waktu itu, dalam doanya, Nommensen meminta
kesembuhan dan berjanji, jika ia disembuhkan, maka ia akan memberitakan injil kepada orang kafir. Setelah
kakinya sembuh, Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk membantu keluarganya
setelah kematian ayahnya.
Pendidikan dan Misi
Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen
(sekarang Wuppertal)
untuk melamar menjadi penginjil. Selama empat tahun ia belajar di seminari
zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft
(RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861. Ia ditugaskan oleh
RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang.
Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin
untuk menetap di daerah Toba.
Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan dengan alasan keamanan. Oleh sebab
itu, ia bergabung dengan penginjil-penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heyni
dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah Sipirok
yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia-Belanda.
Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya
lambat. Setelah berdiskusi dengan kedua Misioanaris ini, disepakati pembagian
wilayah pelayanan, bahwa Nomensen akan bekerja di Silindung.
Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan oleh Nomensen
pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nomensen diterima oleh Ompu
Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal dirumahnya yang daerahnya masuk dalam
kekuasaan Raja Pontas LumbanTobing. Dari sini Nomensen kemudian kembali ke
Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam
pelayanannya.
Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nomensen dengan
membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di
Tarutung pada tanggal 7 Mei
1864. Nomensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak.
Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin
(hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nomensen lalu pergi
kedesa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari LumbanTobing. Nommensen
berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengijinkannya tinggal di atas
lumbung padinya. Akan tetapi raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain
membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen
menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman
Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali
menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa
sekembalinya Raja Aman ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman
kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan
Nomensen tinggal dirumahnya. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman
Lumbantobing kemudian mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya.
Akan tetapi, pada mulanya Raja Pontas LumbanTobing tidak
mau menerima Nommensen. Dia berusaha memengaruhi Raja-Raja di Silindung
supaya menolak Nomensen. Sebaliknya, Raja Aman Dari LumbanTobing, juga berusaha
memengaruhi Raja-Raja di Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di
sekitar Silindung terbagi dua dalam hal penerimaan terhadap Nomensen. Walaupun
masyarakat Silindung terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak
Nommensen), Nommensen tetap berada di Tarutung
dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil.
Satu tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nomensen dapat
melakukan pembabtisan pertama kepada satu orang Batak. Bahkan di kemudian hari,
Raja Pontas Lumban Tobing yang dulunya menolak Nommensen, meminta supaya dia
dan keluarganya dibaptis. Pada saat itu juga Raja Pontas meminta supaya
Nomensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya
masuk Kristen, masyarakat Silindung makin banyak masuk Kristen.
Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di Silindung, Nomensen
membuka Sekolah Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi
guru Injil dan Guru Sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke
Sipaholon. Kemudian, Nomensen membuka pos Penginjilan baru di Sigumpar. Dari
sanalah beliau menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke seluruh Toba
Holbung dan Samosir.
Ketika diberi izin oleh pemerintah kolonial, maka RMG
menunjuk Nommensen untuk membuka pos zending baru di Silindung.
Kehadiran zending ditantang oleh sebagian raja dan juga oleh
sebagian besar penduduk karena mereka takut akan terkena bencana jika menyambut
seorang asing yang tidak
memelihara adat.
Selain itu, sikap menolak para raja disebabkan pula oleh kekhawatiran bahwa
dengan kedatangan orang-orang kulit putih ini menjadi perintis jalan bagi
pemerintahan Belanda
yang berkuasa pada waktu itu. Sekalipun demikian, Nommensen berhasil
mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (terjemahan dari
Yerusalem - Kampung Damai). Pada tahun 1873, ia mendirikan gedung
gereja, sekolah, dan rumahnya di Pearaja dan hingga kini, Pearaja tetap menjadi pusat Gereja HKBP.
Karena kehadiran para misionaris
tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si
Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai
raja yang memiliki kedaulatan atas Silindung,
memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan
Silindung. Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial
Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat
itu masih merdeka. Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju
Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan
tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari Sibolga.
Februari 1878, ekspedisi
militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen
dan Simoneit mendampingi
pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I. Atas
jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878,
Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda,
ditambah uang tunai sebanyak 1000 Gulden.
Setelah Silindung dan Toba ditaklukkan dalam Perang Toba I, Batakmission (zending
Batak) mengalami kemajuan dengan pesat, khususnya di daerah Utara. Nommensen
berhasil meyakinkan ratusan raja untuk berhenti mengadakan perlawanan. Tentunya,
hal ini dapat terjadi setelah Nomensen meyakinkan kembali masyarakat bahwa ia
bukan kaki tangan Belanda dan kedatangannya untuk membawa kebaikan. Hal ini
nampak dalam tindakan keseharian Nommensen bagi orang-orang Batak waktu itu. Contoh
beberapa raja yang akhirnya bersikap positif ialah Raja Pontas Lumbantobing
(Sipahutar), Ompu Hatobung (di Pansurnapitu), Kali Bonar (di Pahae), Ompu Batu
Tahan (di Balige), dan lainnya. Pada tahun 1881, Nommensen
memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar, dan ia tinggal
di sana sampai akhir hayatnya. Pada tahun kematiannya, Batakmission (cikal
bakal Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
mencatat jumlah orang Batak yang dibaptis telah mencapai 180.000 orang.
Untuk menjaga tatanan hidup dari ribuan orang yang baru
masuk menjadi Kristen, Nommensen menyediakan bagi mereka suatu tatanan yang
baru. Pada tahun 1866,
ditetapkanlah sebuah Aturan Jemaat. Aturan itu meliputi kehidupan orang Kristen
di dalam jemaat maupun dalam lingkungan keluarga menyangkut ibadah, perkawinan,
hukum, dan pejabat gerejawi. Di samping itu, Nommensen menerjemahkan kitab Perjanjian
Baru ke dalam bahasa Batak. Ia menerbitkan cerita-cerita
Batak dan menerbitkan cerita-cerita PL. Ia juga berusaha untuk memperbaiki
pertanian, peternakan, meminjamkan modal, dan menebus hamba-hamba dari tuannya.
Jasa Nommensen juga dikenang oleh orang Batak antara lain karena usahanya di
bidang pendidikan dengan membuka sekolah penginjil yang menghasilkan
penginjil-penginjil Batak pribumi. Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan guru di
sekolah, RMG bersama Nommensen membuka pendidikan guru.
Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan
penginjilan, maka pimpinan RMG, pada tahun 1881,mengangkat Nommensen
sebagai Ephorus.
Jabatan ini diembannya sampai akhir hidupnya. Di hari ulang tahunnya yang
ke-70, Nommensen mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas
Bonn. Pada tahun 1911, ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan
diangkat sebagai Officer Ordo
Oranye-Nassau. Ia pun akhirnya mendapat gelar sebagai Rasul Orang
Batak.
Kematian
Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei
1918, pada umur 84 tahun. Nommensen
kemudian dimakamkan di Sigumpar, di tengah-tengah
suku Batak, setelah bekerja demi suku ini selama 57 tahun lamanya.
Strategi
penginjilan
Strategi misi yang dikembangkan Nommensen ialah
mengubah strategi penginjilan awal yang menekankan konversi perorangan dengan
mengembangkan strategi yang menekankan konversi kelompok baik keluarga
(mencakup keseluruhan anggota keluarga sebagai satu kesatuan) maupun
keseluruhan komunitas
kepada iman Kristen. Untuk mewujudkan hal itu, Nommensen membuka pos
penginjilan (Missionsstation) baru (termasuk sekolah) dengan tujuan menjalin
hubungan baik dengan pemuka raja-raja setempat. Para raja inilah yang
menentukan berhasil atau tidaknya usaha misi karena mereka merupakan tokoh yang
sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya.
Posted by 08:08 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment