Kanon Alkitab
Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini
memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak menjadi tolak ukur bagi iman
umat. Kata
"kanon" sendiri adalah kata Yunani yang secara harafiah berarti
"tongkat pengukur," yaitu tongkat yang dijadikan sebagai standar
pengukuran. Dalam konteks Alkitab, "kanon" secara umum dipahami
sebagai "daftar" kitab-kitab yang menjadi "standar" atau
"aturan" yang bersifat normatif bagi umat.
Proses penganonan Alkitab atau yang biasa dikenal dengan
istilah "kanonisasi" adalah sebuah proses yang berlangsung selama
berabad-abad. Proses ini melibatkan diskusi yang rumit mengenai kitab mana yang
dianggap berwibawa dan kitab mana yang tidak. Kitab-kitab yang dianggap
berwibawa ini kemudian dikenal dengan istilah "kanonisitas."
Sejarah
Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian
Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen
berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya
membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak.
Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk
mengenal kanon
(istilah Yunani yang artinya "standar") adalah
yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja.
Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja menganggap Paulus sebagai salah seorang rasul. Meskipun
Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus,
Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus.
Aktivitas penginjilannya
yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para
Rasul – menjadikannya model seorang rasul.
Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian,
Injil Markus
yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas
yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah
para rasul wafat, orang-orang Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada
dalam Injil tersebut, meskipun Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul
yang terkait.
Tentang penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di
gereja-gereja, petunjuknya ialah, "Jika banyak gereja memakai tulisan
tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-menerus meningkatkan moral
mereka, maka tulisan tersebut diilhami". Meskipun standar ini menunjukkan
pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga
logikanya di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para
penyembah-Nya; tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.
Namun, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk
menentukan sebuah kitab sebagai kanon. Banyak tulisan ajaran sesat
membawa-bawa nama rasul. Di samping itu, ada gereja-gereja yang memakai tulisan
tersebut sedangkan yang lainnya tidak.
Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para
Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di semua
pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi", gereja-gereja
cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki otoritas
spiritual. Para uskup
yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens dari Roma dan Polikarpus
telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan yang luas. Namun
perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus,
2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas
serta Wahyu.
Daftar ortodoks
mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon
Muratori Gereja Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian
Baru seperti yang kita ketahui masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo.
Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan
membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip. Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache
dan Surat
Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui
buku itu sebagai tulisan yang diiihami.
Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria
yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang
beredar cukup luas. Di dalamnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang
sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian
Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius
menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun
ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.
Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah.
Pada tahun 397,
Konsili Kartago mensahkan
daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban
menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan,
meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.
Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius
mendapat pengakuan umum, dan sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak
pernah menyimpang dari kebijakannya.
Kanonisasi
Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibrani
qāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran"
atau "tali pengukur" dan kemudian dalam bahasa Yunani
berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad
ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau
Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti 'ukuran' bagi iman Kristen. Ketika
istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai sebagai 'ukuran' bagi
Iman dan Hidup orang Kristen.
Kanonisasi
Perjanjian Lama
Secara pasti tidak ada kriteria untuk kanonisitas Perjanjian
Lama, meskipun terdapat konsensus di kalangan para ahli yang
menyebutkan ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai dasar kanonisitas
Perjanjian Lama, yaitu:
·
Kanonisitas dikaitkan dengan nubuat
·
Kanonisitas dikaitkan dengan perjanjian
(covenant)
- Kananositas Perjanjian Lama diteguhkan melalui rujukan-rujukan Perjanjian Baru terhadapnya
- Kanonisitas Perjanjian Lama diteguhkan oleh pemakaiannya dalam ibadah yang dilakukan oleh umat Israel.
Pada dasarnya kitab-kitab yang termasuk Perjanjian Lama
adalah tepat sama isinya dengan kitab-kitab dalam Alkitab
Ibrani, meskipun ada perbedaan urutannya.
Kanonisasi
Perjanjian Baru
Kanonisasi Perjanjian
Baru dimulai sekitar tahun 200.
Pada saat itu mulai disusun daftar-daftar kitab suci yang kurang lebih resmi.
Misalnya pada tahun 190 di Roma muncul sebuah daftar yang disebut Kanon
Muratori. Kanon Muratori merupakan kanon tertua yang disimpan
sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah salinan dari abad VIII. Nama
Muratori merupakan nama seorang pustakawan Milano, L.A. Muratori yang
menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1740.
Kanon ini berisi daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan sejumlah
karangan yang dianggap "palsu". Pada tahun 254, Origenes
dari Alexandria
juga menyusun sebuah daftar kitab. Tahun 303 Eusebius
dari Kaisarea juga membuat daftar kitab. Tahun 367, Uskup Aleksandria
Athanasius
menyusun daftar Alkitab Perjanjian Baru dengan jumlah 27 kitab. Daftar itu
kemudian diterima oleh umat di bagian Timur. Sedangkan di bagian barat, umat
menerima daftar yang disusun oleh Athanasius.
Paus Innosensius I mengirim daftar itu ke Perancis
pada tahun 419.
Daftar ke 27 kitab itu kembali diperteguh dalam konsili
Florence (1441), konsili
Trente (1546) dan Konsili
Vatikan I (1870).
Kanonisitas
Perjanjian Baru
Seperti yang telah disebutkan, penentuan mengenai
kitab-kitab mana yang layak dan bisa dimasukkan ke dalam kanon Perjanjian Baru
memakan waktu yang sangat lama, akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi dasar
kanonisitas Perjanjian Baru, yaitu:
- Dekat dengan tradisi kerasulan
- Diterima secara umum di kalangan jemaat (katolisitas)
- Bergantung pada ortodoksi
Posted by 08:38 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment